Jurnalis, sebuah profesi yang menantang bagi banyak orang. Karena selain kita dituntut cekatan untuk “mengaktifkan” sinyal kepekaan akan informasi, seorang pewarta juga diharuskan bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan yang akan diselaminya. Untuk menjalankan kesemuanya tentunya ada kode etik dan dibuat semacam aturan main dalam melaksanakan kewajiban berjurnalis.
Begitu juga didalam profesi kewartawanan, etika tidak mengajarkan seorang wartawan untuk memilih berita yang satu dibandingkan berita yang lainnya ataupun memilih narasumber satu diantara narasumber yang lainnya, karena itu semua didasarkan pada pertimbangan moral dan kesepakatan bersama. Tetapi etika jurnalistik memberikan tuntunan bagi seorang wartawan agar dalam menjalankan profesinya, sang wartawan dapat bertindak dalam garis yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.
Artinya ialah, sebagai orang yang mengemban profesi jurnalistik, wartawan harus cerdas untuk memberikan sebuah informasi. Tidak boleh ada kesan berat sebelah, terlalu melebih-lebihkan, atau bahkan memunculkan unsur opini di dalamnya. Karena apabila tidak sesuai dengan aturan yang ada, akan menimbulkan rasa ketidak-berimbangan pada masyarakat.
Wartawan itu ibarat kata peneliti. Maksudnya pada saat mereka di lapangan dan mencatat data-data pendukung tulisannya, ia telah melakukan beberapa tahapan, diantaranya : mengamati peristiwa, meresepsi keterkaitan peristiwa sebagai pelengkap berita, mengolah data menjadi tulisan sesuai dengan keperluan yang diharapkan, lalu mengungkapkan pengalaman hasil pengamatan, meresepsi, dan menyesuaikan gagasan menjadi sebuah informasi yang dapat dihasilkan secara verbal.
Maka, dibutuhkan sebuah prinsip matang terhadap jurnalis. Apakah ia sanggup untuk menyuguhkan informasi sesuai dengan fakta atau sebaliknya. Mengapa demikian? Karena jurnalis pada beberapa media saat ini terlihat bekerja tidak sesuai dengan aturan. Mengabarkan semaunya, bahkan terkesan memprovokatif.
Padahal, sudah jelas tercatat sebuah Undang-Undang Pers. Jika melihat kepada epistimologi dari lahirnya UU ini dimana UU ini berfungsi untuk menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967 dan diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982 bahwa UU No. 40 tahun 1999 ini memang didesain untuk memikirkan pers sudah sebagai industri yang mandiri tidak lagi memerlukan campur tangan pemerintah dan pemerintah berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan dasar warga Negara yang dibuktikan dengan amandemen UUD 1945 pada pasal 27 dan 28 serta Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM).
Namun kini, ada “pemerintah lain” yang berkuasa dibalik jalannya media. Dibalik frekuensi yang mereka suguhkan ada maksud lain. Beberapa media di negeri ini dikuasai oleh para elit politik yang pastinya bertujuan untuk membesarkan nama partai, nama koleganya, nama keluarganya. Para jurnalis yang bekerja ditempatnya bisa dikatakan hanya sebuah robot yang dikendalikan oleh konglomerat media tersebut. Jurnalis-jurnalis itu tak bisa bertindak apa-apa. Sekalinya ada sebuah tindakan yang bersinggungan dengan misi media yang dimiliki para konglomerat itu, yang ada malah sebuah tindakan tak mengenakan yang akan mengancam.
Mungkin, beberapa pelaku jurnalis yang memiliki prinsip kuat dalam menjalankan tugasnya sebagai penyuguh berita, akan berhenti dan pindah ke media lain yang tidak ada ikatan politik. Tapi, tidak sedikit pula para wartawan yang jadi keasyikan bergelut dengan pekerjaan jurnalisnya yang tidak sesuai dengan kode etik tersebut. Saya yakin, ada pergulatan batin di dalam hati robot-robot itu, tapi apa mau dikata? Mereka juga memikirkan pekerjaannya, dari mana lagi mereka mendapatkan uang? Yah... mau tidak mau...
Dikutip dari www.antaranews.com, jurnalis profesional, kompeten, kredibel, dan berintegritas, mendahulukan loyalitas kepada khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa). Inilah loyalitas utama jurnalis di jalan terang. Inilah yang membuat jurnalis harus memilih kepentingan yang lebih besar dan luas, ketimbang kepentingan pemilik modal, perusahaan.
Jurnalis harus memiliki kepasitas khas dalam mengawasi seluruh anasir kekuasaan, termasuk dirinya sebagai pemilik power dan otoritas tertentu dalam menebar informasi kepada khalayak. Artinya, independensi jurnalis profesional, tidak sembrono. Jurnalis profesional juga terpanggil untuk berkontribusi nyata kepada bangsanya. Mereka menjadikan media atau pers sebagai medium kritis bagi kepentingan bangsanya secara luas.
Intinya seorang jurnalis harus memiliki prinsip dan komitmen kuat. Di dalam komitmen itu, mereka berkontribusi pemikiran terhadap ikhtiar mewujudkan Indonesia yang lebih perkasa dan berwibawa. Mereka sepakat menjadikan kebebasan pers sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat, dan menggunakannya untuk mengontrol penyelenggaraan negara, pemerintahan, dunia usaha, dan semua lembaga ke arah tata kelola yang bersih dan berwibawa. Serta dapat menggunakan kebebasan pers secara profesional yang berpedoman kepada kode etik jurnalistik. (Galuh/Untirta)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI