Mohon tunggu...
Guid Cardi
Guid Cardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumni Fisip Universitas Sriwijaya Palembang

Pegiat Kepemiluan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu: Agenda Reformasi yang Tak Boleh Berhenti

8 Juni 2021   15:49 Diperbarui: 8 Juni 2021   15:56 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PEMILU: AGENDA REFORMASI YANG TAK BOLEH BERHENTI.

(MENGENANG 23 TAHUN REFORMASI DI ZAMAN CORONA)

OLE: GUID CARDI

 "Di dalam pergerakan Indonesia ada dua uitersten, dua "Udjung". Udjung jang kesatu, -- udjung   reformis, tidak mau utamakan aksi maksud tertinggi seperti aksi Indonesia Merdeka  atau aksi jatuhnya stelsel kapitalisme. Jang mereka kerjakan sehari-hari hanja apa yang bisa di tjapai ini hari sadja, seperti turunnya padjak, atau tambahnya sekolahan. Udjung jang kedua,--udjung "radikal mbahnya radikal",-- tidak mau tahu akan aksi "ketjil-ketjilan" sebagai yang mengejar turunnya padjak itu, tetapi hanja mau kepada "Indonesia Merdeka" dan " djatuhnya kapitalisme" sahadja,: "alles of niet" (semua atau tidak sama sekali). (Soekarno,1933)."

Demikian kutipan tentang sekilas reformasi, yang ditulis oleh IR. Soekarno pada tahun 1933, dua belas (12)  tahun sebelum Indonesia Merdeka dan berdiri menjadi sebuah Negara merdeka bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus tahun 1945. Di dalam tulisannya yang berjudul Reform-actie dan Doels-actie, Soekarno yang kemudian menjadi Presiden Pertama RI itu, memperkenalkan istilah reformasi --reform-actie.  

Enam puluh lima (65) tahun kemudian sejak tulisan itu diperkenalkan Oleh Soekarno, tepatnya pada tahun 1998, reformasi menjadi sebuah konsep---flat form pergerakan politik yang dianut oleh jutaan mahasiswa Indonesia yang tersebar di seluruh Nusantara yang memiliki kampus-kampus perguruan tinggi, Universitas, institute, sekolah tinggi ataupun akademi.

Kini, perjuangan dan pergerakan Reformasi itu telah berlalu 23 tahun. Perjuangan yang melelahkan dengan pengorbanan jiwa dan raga, darah dan air mata, bahkan dengan harta dan nyawa sekalipun disertakan. Perjuangan pergerakan Reformasi 1998 terbilang sukses mengubah dan menggusur suatu rezim otoriter yang dibungkus dengan Demokrasi Pancasila---rezim Orde Baru. Pergerakan reformasi yang melibatkan jutaan mahasiswa di sepanjang Nusantara NKRI sehingga tokoh-tokoh pejuang dan pergerakan itu pun tumbuh secara menyebar pula di sepanjang Nusantara ini. Tidak ada yang berani mengklaim sebagai tokoh sentral pejuang pergerakan.

Berbeda dengan pergerakan Sebelumnya sebut saja Pergerakan Malari 1974, yang juga sama-sama menentang Suatu rezim yang menggadaikan Demokrasi Pancasila itu, memunculkan banyak tokoh-tokoh sentral sesudahnya, karena ekses di dalam pergerakan itu banyak yang berakhir dalam tahanan penjara rezim orde baru.

AGENDA REFORMASI 1998

Tidak jelas siapa-siapa yang memperkenalkan konsepsi reformasi pada tahun-tahun itu. Ada yang menyebut beberapa tokoh nasional baik tokoh politik ataupun kampus yang pertama-tama memperkenalkan istilah itu. Tetapi yang pasti reformasi pada tahun 1998 itu menjadi slogan utama perjuangan mahasiswa untuk memperbaiki keterpurukan kondisi negara saat itu yang berada  di dalam cengkeraman kendali Orde Baru dalam naungan Kekuasaan Soeharto yang ditopang oleh kekuatan politik ABG.

Tulisan Soekarno yang dikutif di atas merupakan sub-judul di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, adalah salah satu karya yang menyemangati lahir dan bergeraknya perjuangan reformasi 1998 itu, hingga buku yang diterbitkan pada tahun 1963 itu sempat laris diburu para kolektor dan sempat pula terdengar kabar ada pihak-pihak yang rela menebus dengan puluhan juta rupiah hanya untuk memiliki buku yang dicetak dalam jumlah sangat terbatas itu, meski tidak terungkap maksud dan tujuannya.

Tidak banyak pula buku atau tulisan yang secara khusus dan objektif  mengungkap bagaimana maksud dan tujuan dari perjuangan pergerakan reformasi 1998. Mungkin karena. Sedikit sekali tokoh yang secara terang benderang berani mengemukakan gagasan reformasi. Umumnya karena "tidak berani secara terbuka" berhadapan dengan para penguasa rezim Orde Baru. Kalaupun sesudah peristiwa perjuangan pergerakan reformasi 1998 banyak bermunculan tulisan, literature ataupun kajian hingga penelitian khusus terkait pergerakan 1998 maka karya-karya tersebut tidak lebih dari sebagai "pembenaran" terhadap pergerakan tersebut. Adalah sangat penting pula, menelusuri karya-karya atau tulisan yang memberikan inspirasi---motivasi hingga pergerakan reformasi 1998 itu berjalan sebagaimana hasilnya yang bisa kita rasakan hingga saat ini.

Ada beberapa literature yang sempat penulis kumpulkan yang ditulis oleh beberapa orang tokoh yang secara "implisit" berani secara terbuka menyampaikan ide-ide gagasan tentang reformasi sebelum perjuangan pergerakan reformasi 1998 itu mencapai puncaknya pada Pertengahan---Akhir Mei 1998,  meski dengan beberapa narasi yang bermakna"tersirat atau kompromistis" dengan rezim saat itu.

Sebut saja misal antra lain,  Megawati Soekarno Putri (1994) tentang Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarno Putri; Ali Sadikin (1995) Tantangan Demokrasi ; Alexander Irwan,Ph.D dan Edriana, S.H. (1995) Pemilu: Pelanggaran Asas Luber;  Bilveer Singh, (1996) Dwi Fungsi ABRI;  Soebadio Sastrosatomo (1997) Era Baru Pemimpin Baru; Soegeng Sarjadi (April, 1998) Reformasi Kebijakan Menyongsong Millenium Ketiga; H. Harjono Mardjono, S.H., (Mei, 1998) Reformasi Politik Suatu Keharusan;  

Secara sederhana, jika dicermati secara keseluruhan dari beberapa tokoh-tokoh dengan karya tulisnya tersebut di atas antara lain mempersoalkan tentang berbagai macam isu-isu pelanggaran terkait demokrasi dan kedaulatan rakyat, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, hak-hak politik, pemilu yang fair dan jurdil, dwi pungsi ABRI, hagemoni kekuasaan ABG ( ABRI, Golkar dan Birokrasi), penegakaan hukum, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), kemiskinan dan kesejangan sosial serta pengangguran,dan lain sebagainya.

Konsepsi yang di tawarkan adalah Sebuah konsep Reformasi. Namun apa reformasi itu dan bagai mana memulai untuk dilakukan masih agak samar-samar. Meski belum jelas reformasi seperti apa yang diinginkan itu, Mardjono (1998) dan Sarjadi (1998) misalnya menyebut reformasi (penyusunan kembali atau perubahan) terhadap sistem dan kebijakan-kebijakan politik yang sebelumnya  tidak saja kurang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai keadilan.

Berbagai rincian penjabaran dari konsep reformasi kebijakanpun ditawarkan, baik kebijakan reformasi di bidang Hukum, ekonomi, politik dan sosial budaya. Sebagian dari rekomendasi reformasi kebijakan ada yang menjadi perhatian dari rezim Orde Baru yang dikendalikan oleh kekuasaan Soeharto dengan sokongan kekuatan ABG itu. Tetapi Sebagian besar yang lainnya seperti dikesampingkan.

Nampak rezim orde baru belum siap menerima agenda-agenda reformasi yang ditawarkan, seperti antara lain pertama, agenda reformasi Hukum antara lain menyoal  penegakan hukum dan penghormatan serta perlindungan hak asasi manusia, revisi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan hukum agraria, pemisahan dan profesionalisme kepolisian dan ABRI. Kedua, pemberantasan Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN).  Ketiga, agenda reformasi Politik antara lain, tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat melalui amandemen UUD 1945,  revisi undang-undang paket politik, pembubaran golongan karya, dan lain sebagainya.

Pengabaian terhadap agenda-agenda reformasi yang ditawarkn itu, berakibat pada terbentuknya emosional politik massa yang terkristalisasi dalam  pergerakan reformasi dengan mengerucutkan pada agenda pokok reformasi bahwa reformasi harus dimulai dengan segera melalui cara menggusur dan menggantikan rezim Orde Baru yang telah berkuasa hampir melebihi 30 tahun itu yang dipimpin oleh Soeharto yang disokong oleh kekuatan politik ABG, dengan suatu rezim (kepemimpinan) yang demokratis, menghormati hukum dan hak asasi manusia, melalui pemilihan umum yang fair, dan jurdil serta bebas dari KKN, hingga pada tanggal 22 Mei Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI dan kemudian dilanjutkan  oleh B.J. Habibie, Wakil Presiden RI mengganti kan Soeharto Sebagai Presiden RI berikutnya. Sebagian besar elemen bangsa, menganggap momen ini sebagai penanda awal dimulainya reformasi

REFORMASI KEBIJAKAN PEMILU

            Pasca Reformasi 1998, hingga saat ini kita memang baru telah melaksanakan 5 (lima) kali penyelenggaraan Pemilihan Umum, secara  berturut-turut yakni, pertama, Pemilu tahun 1999 merupakan Pemilu pertama di masa awal Reformasi untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

            Kedua, Pemilu tahun 2004 yang diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta untuk pertama kalinya dalam sejarah Bangsa Indonesia diselenggarakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, Pemilu tahun 2009. Keempat, Pemilu tahun 2014. Pemilu  tahun 2009 dan 2014  juga diselenggarakan untuk memilih DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden. Kelima, Pemilu tahun 2019 untuk pertama kalinya diselenggarakan secara serentak  pemilu untuk memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden.

            Selain penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden, sejak tahun 2005 dimulai pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (Pilkada), yakni gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Hingga tahun 2020, tidak kurang 10 (sepuluh) kali Pilkada telah diselenggarakan.

            Penyelenggaraan Pemilu anggota DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden dan Pilkada demikian itu, hanya dapat dilaksanakan jika dan hanya jika pergerakan reformasi itu berjalan sesuai harapan dengan tergusurnya rezim Orde Baru dibawah kendali Soeharto dengan Sokongan kekuatan ABG yang demikian hebat itu.  Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang demikian itu adalah sebagai komitmen yang sungguh-sungguh untuk terus menjalankan kebijakan reformasi nasional khususnya di bidang politik.

Berbeda dengan orde reformasi, Seiring dengan tumbangnya Orde Lama berganti dengan Orde Baru periode 1966-1998 kita menerapkan apa yang disebut dengan demokrasi Pancasila dan hampir lebih dari 30 tahun masa ini dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia dan telah melaksanakan 6 kali pemilu, yakni tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Orde Baru mengklaim keberhasilannya telah menciptakan dan menjaga stabilitas politik dan keamanan, menyelenggarakan beberapa kali pemilu hanya dengan dua partai politik yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar).

 Pemilu pada era Orde Baru tak dapat dibantah selalu terjadi kecurangan yang terstruktur, sistemik dan massif sehingga ada yang mengatakan pemilu-pemilu zaman Orde baru adalah pemilu yang diselenggarakan sekedar untuk memenuhi formalitas hukum dan konstitusi (Saldi Isra,2013:xv).

Melalui  kekuatan politik hegemonik dalam konfigurasi politik yang otoriter, pemerintah Orde Baru telah menciptakan pemilu yang tidak adil sejak semula karena adanya jatah untuk sejumlah besar anggota DPR dan DPRD, hingga terpilihnya Soeharto sebagai Presiden oleh MPR yang berkuasa hampir 32 tahun itu.  

Sedangkan para kepala daerah merupakan hasil pemilihan oleh DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, untuk tidak menyebutnya sebagai penunjukan atau jatah pihak-pihak penyokong Orde Baru itu. Pemilu yang demikian itu merupakan pemilu dalam rangka memperkuat keberadaan cengkraman Orde Baru dengan dukungan yang amat kuat dari pusat sampai ke daerah oleh pengaruh kolaborasi ABRI, Golkar dan Birokrasi (ABG).

Hanya dengan reformasi 1998 itu, Ketika Pemilu 1999 di laksanakan sebagai komitmen awal dimulainya reformasi khususnya terkait reformasi politik hal ini merupakan awal tahapan reformasi kebijakan pemiluan yang bersifat sangat strategis sebagai bagian dari dimulainya agenda reformasi sebagai mana yang dicita-citakan itu. Dapat  dipahami ketika pemilu tahun 1999 dilaksanakan, tidak kurang dari 48 partai politik ikut sebagai peserta pemilu dengan partisipasi yang tidak kurang 90 %..

"Di sinilah maka pemilihan umum berkaitan penting dan merupakan bagian penting dari demokrasi dan keterwakilan dalam perjalanan tumbuh kembangnya Negara Kesatuan Rapublik Indonesia (NKRI). Demokrasi merupakan induk dari pemilu yang merupakan suatu sistem dari sistem pemerintahan.

Dalam perkembangan dewasa ini, pengertian demokrasi tidak hanya dibatasi oleh sistem pemerintahan, tetapi juga mencakup keseluruhan sistem politik. Oleh karena itu, pemilihan umum berkaitan dengan sistem politik secara keseluruhan, yang antara lain menyangkut sistem kepartaian. Partai adalah lembaga demokrasi atau wadah tempat rakyat melakukan partisipasi. Sudah tentu partai politik bukan satu-satunya wadah demokrasi, ada wadah-wadah lain yang ikut mendukung demokrasi.

Dengan demikian, pemilu dan partai politik memiliki fungsi strategis dalam proses memperkuat demokrasi dan keterwakilan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya ialah antara lain konstitusionalisme, kedaulatan rakyat, aparat yang bertanggung jawab, jaminan kewajiban sipil, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan asas mayoritas.

Reformasi  hadir sebagai kritik terhadap penerapan demokrasi Pancasila yang dalam praktik hampir dipenuhi dengan perilaku koruptif dari penyelenggara negara, pelanggaran hak-hak asasi manusia (hak-hak sipil/warga negara dan kebebasan berserikat dan berpendapat) dan lain sebagainya.

Dalam ruang demokrasi,  pemilu secara sederhana adalah pertemuan antara hak dipilih yang dimiliki oleh warga negara yang bersifat organisasional ke dalam partai politik ataupun invidual dengan hak memilih yang juga dimiliki oleh setiap warga negara secara individual. Pemilu sejatinya adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin-pemimpinnya yang akan memerintah di eksekutif dan legislatif.

Dalam negara yang secara konstitusional mengakui dan melaksanakan demokrasi sebagai sistem politiknya, maka rakyatlah ( baca: warga negara) yang memutuskan siapa-siapa saja calon-calon yang dapat diberikan kepercayaan untuk memimpin pemerintahan itu, baik di tingkatan nasional ataupun local (baca Pilkada). 

Hak warga negara untuk memilih dan dipilih merupakan hal umum yang melekat pada negara-negara yang menganut demokrasi dalam sistem politiknya.  Dengan kata lain juga, pemilu yang demokratis merupakan perwujudan secara konkrit terhadap pengakuan konstitusional terhadap hak memilih dan dipilih warga negara yang  merupakan pengakuan terhadap hak asasi manusia.

Seiring perjalanan demokrasi, politik dan pemilu bangsa Indonesia yang secara singkat digambarkan di atas, maka perjalanan terhadap pengakuan konstitusional terhadap hak memilih dan dipilih yang  merupakan pengakuan terhadap hak asasi juga sempat mengalami jatuh bangun. Hak memilih dan dipilih yang melekat dan dinikmati oleh Warga negara Indonesia saat ini, sudah tentu merupakan proses perjuangan  reformasi yang tidak mudah dan melelahkan, baik secara politik maupun ketatanegaraan.

Sebut saja misalnya di era orde baru, meski tidak ada pembatasan secara khusus, warga negara yang pernah dihukum secara politik (dianggap terlibat G 30S/PKI) akan kehilangan haknya dalam memberikan suara. Begitu juga terhadap para pemimpin oposisi (kritikus pemerintah) yang dihukum oleh pengadilan bermuatan politik, akan berakibat hilangnya hak-hak politik mereka. Pembatasan seperti ini perlu dipertanyakan, karena menghilangkan hak suara secara universal.

Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu serentak 2024 yang  fair , langsung, umum bebas, rahasia, Jujur dan adil  oleh penyelenggara Pemilu yang mandiri dan professional , dituntut untuk menghargai hasil perjuangan penting reformasi yang menghilangkan hambatan-hambatan politik untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Sebagai hasil perjuangan penting dalam reformasi politik, hak politik warga negara saat ini praktis tidak ada hambatan yang berarti. Maka Pemilu sebagai agenda penting dan sangat strategis dari Reformasi tidak boleh berhenti, sekalipun pandemic Covid-19 belum ada tanda-tanda akan berakhirnya.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun