Mohon tunggu...
Kraeng Guido
Kraeng Guido Mohon Tunggu... Petani - Petani Cengkeh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pembudidaya Tanaman Cengkeh | Senang dengar lagu band Jamrud, Padi dan Boomerang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Filosofi "Kokor Gola dan Pante Minse" bagi Orang Pacar Kolang

29 April 2019   22:40 Diperbarui: 4 Mei 2019   20:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kokor Gola merupakan tradisi orang Kolang mengolah air enau menjadi gula merah. Ini merupakan salah satu ikon pariwisata di Kecamatan Kuwus, Kuwus Barat, Pacar dan Macang Pacar, Ndoso, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.(ARSIP ARONTINUS HANGGUR)

Kokor gola merupakan tradisi Orang Pacar, kecamatan Pacar, yaitu mengolah air enau menjadi gula merah. Bukan hanya di desa saya saja, pengolahan serupa terjadi di beberapa kecamatan tetangga, yaitu di daerah Kolang kecamatan Kuwus, Kuwus Barat, Ndoso, dan Macang Pacar, Mabar-NTT.

Tradisi pengolahan air enau ini sudah menjadi ikon pariwisata, mengingat banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung dan menyaksikan sendiri proses penyulingannya.

"Kokor gola" secara harafiah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "kokor" berarti masak dan "gola" artinya gula yang berwarna merah. Jadi kokor gola berarti memasak gula merah dengan bara api. Dan biasanya kegiatan kokor gola tersebut dilakukan di "Sari" sebutan kami untuk pondok kecil yang ada di kebun.

Dulu, nenek moyang kami tidak mengenal adanya gula pasir saat menyuguhkan minuman kepada tamu, baik itu untuk pemanis kopi mupun teh hangat. Tapi dengan menggunakan gula merah, gula tradisional yang diolah dengan tangan sendiri ini.
Dikisahkan secara lisan bahwa para perajin awal mengenal cara mengolah air enau menjadi gula merah yang dikenal sebagai "gola malang"dengan berbagai kisahnya.

Konon awalnya, dijelaskan bahwa bermula dari hewan ternak yang selalu berada di bawah pohon enau atau aren (Arenga Pinnata) dan selalu minum tetesan air pohon enau. Pemilik hewan ternak melihat bahwa begitu banyak hewannya yang selalu berada di sekitaran pohon enau dan melihat tetesan air enau itu.

Seorang kakek sedang memikul Gogong (bambu) berisikan air enau (Sumber: Floresmuda.com)
Seorang kakek sedang memikul Gogong (bambu) berisikan air enau (Sumber: Floresmuda.com)

Saat itu pula pemilik memikirkan bahwa mengapa hewan peliharaannya selalu meminum tetesan air yang selalu keluar dari pohon enau/aren tersebut. Kemudian pemilik hewan tersebut coba merasakan air aren tersebut. Dan ternyata rasa air enau itu manis. Dan sejak saat itu dia mencari cara untuk mengolah air enau tersebut.

Sejak kejadian tersebut keberadaan pohon enau/aren ini mulai diperhatikan dan jarang ditebang sembarangan. Hingga sampai saat ini masih banyak pohon enau yang tumbuh liar di hutan maupun di perkebunan di desa kami dan sekitarnya.

Meskipun tidak ada sejarah tertulis dari kisah ini, tapi orangtua di kampung saya terus menurunkan cerita lisan ini kepada setiap generasi supaya arti penting filosofi pengolahan air enau menjadi gula merah ini.

Menurut Ame (kakek) saya, air enau yang bening (Wae Minse) dan gula merah dapat mencerdaskan otak anak apabila jika dikonsumsikan oleh mama-mama hamil. Selain itu juga menggantikan fungsi madu saat anak sedang sakit bahkan bisa menyembuhkan maag.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun