Kegiatan praktis orang pedesaan saat ini ialah memanen hasil bumi. Dan bagi petani Pacar, Manggarai Barat sekarang ini sedang dihadapkan pada panen raya bunga cengkeh.
Tentu ini sebuah berkah. Namun, di balik itu harga cengkeh sedang anjlok. Ironi! Dan karena itu yang kemudian memicu diskusi "berketiak ular" (meminjam istilah om Felix Tani) di lingkaran petani.
Di tengah situasi pelik dan/atau kegamangan hidup semacam itu, petani mulai bertanya-tanya dan tak elak menyalahkan sana-sini karena hal ini-itu.
Dan, saya rasa, reaksi petani semacam itu adalah wajar dan perlu juga menyalahkan pihak lain atas apa yang menimpa mereka saat ini. Pihak lain yang saya maksudkan di sini ialah [1] pemerintah, dan [2] kapitalis.
Lantas, kenapa menyalahkan pemerintah?
Sebagai pembuat kebijakan, mereka tak mampu mengawasi pasar. Dalam hal ini menetapkan standarisasi harga komoditi (sebut saja cengkeh, misalnya) yang jelas. Tentu saja hal ini dilakukan agar harga cengkeh stabil dan kompetitif serta tidak mudah naik turun.
Padahal, cengkeh masuk dalam kategori barang kena pajak (PPN 10%). Yang notabene uangnya masuk ke kas negara untuk menghidupi bangsa ini.
Sialnya lagi, pemerintah seakan acuh seraya lepas tanggung jawab dengan membiarkan para kapitalis menjadi pemain tunggal di pasar.
Berikut, lintah darat kapitalis. Sebagai pemilik modal dan (seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya) menjadi penguasa atau pemain tunggal di pasar.
Saya kira kapitalis di "negara Konoha" saat ini terlalu rakus bin serakah. Anjloknya harga cengkeh saat ini merupakan dosa mereka. Harga cengkeh dikatrol seenaknya dan, karena itu, petani dibuat ringkih dan sakit hati. Ingat "Allah its watching you!".