Beberapa hari yang lalu, Kardianus Manfour yang adalah seorang Kompasianer muda asal Manggarai, menuliskan begini dalam artikelnya:
"Akhir-akhir ini saya terpanggil untuk menarasikan tentang kampung Kolang. Bagi saya, narasi ini sangat penting, karena tradisi lisan sudah berkembang di tengah-tengah orang Kolang. Sementara tradisi tertulis masih sangat minim"..[selengkapnya].
Sebagai sesama generasi muda Manggarai yang peduli pada kebudayaan, spirit Kardianus itu patut diacungi jempol. Mengingat zaman kiwari, tidak banyak pemuda yang memiliki kesadaran seperti itu.
Dan jauh sebelum Kardianus, saya sudah terlebih dulu menuliskan narasi glorifikasi serupa itu di Kompasiana, lebih tepatnya lewat artikel yang saya taja setahun lalu ini [klik untuk baca]. Kurang lebih bunyi kalimat saya mirip-miriplah.
Jujur, itulah salah satu kelemahan daripada proses transformasi [alih materi] pengetahuan kebudayaan kita selama ini. Kita kekurangan sumber referensi, buku bacaan, dlsb.
Akibatnya, generasi muda saat ini kurang mendapat pengetahuan yang utuh tentang risalah budaya Manggarai. Lantaran, ya, satu-satunya sumber informasi itu hanya bisa diperoleh dari sekolah lisan para orangtua di kampung.
Tapi, sudahlah. Tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam ranah itu. Tugas kita para pemuda dan pemudi Manggarai saat ini adalah bagaimana mengumpulkan narasi-narasi kebudayaan yang tercecer itu agar kelak memudahkan siapa saja untuk mempelajarinya.
Dan tentu saja kita butuh media untuk dijadikan pangkalan narasi-narasi kebudayaan itu. Ya. Salah satunya lewat Kompasiana.
Ditambah lagi, Kompasiana begitu sangat permisif terhadap tulisan-tulisan kebudayaan beserta ragam isu regional/kelokalan yang meliputinya. Setidaknya, saya dan beberapa kompasianer Manggarai yang lain sudah membuktikannya.
Keterbukaan Kompasiana itu jugalah yang, hemat saya, membuatnya semakin beda [tidak dalam artian membandingkan dengan platform media lain]. Ya. Sejauh dimanfaatkan untuk hal-hal baik, kenapa tidak?