Lingkungan sekunder itu sekolah dan pemerintah. Sebagaimana sekolah merupakan tempat kita belajar dan menimba ilmu. Tentu saja peran sekolah sebagai faktor pendukung di sini sangat urgent untuk mengasah minat bertani anak.
Saya kira kurikulum dan/atau materi ilmu pertanian itu perlu diajarkan sedari sekolah dasar [karena mungkin dirasa terlalu berat untuk seumuran anak TK-PAUD]. Diusahakan jangan lagi menunggu di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK) atau di kampus-kampus.
Ya, tinggal disesuaikan saja, walau dimulai dari tingkatan pembelajaran yang sederhana dan gampang dipahami. Bahwasannya, bertani itu bisa dilakukan oleh semua orang dari tingkatan pendidikan dan/atau latarbelakang yang berbeda.
Berikut adalah soal regulasi atau kebijakan politik pertanian dari pemerintah. Paling tidak, harus menguntungkan para petani. Hal itu penting sebagai salah satu faktor dasariah dalam penguatan sektor pertanian kita.
Saya kira, di zaman moderen kiwari, pemerintah sudah mampu membaca arah pertanian kita [seraya tahu harus berbuat apa] sehingga dirasa perlu melibatkan generasi muda-mudi untuk ikut terjun ke sektor pertanian.
Selain ijtihad regenerasi petani, tentu "pengrekrutan" petani milenilas atas dasar pertimbangan SDM [baik itu soal pengetahuan juga keterampilan] yang dimiliki dalam menyesuaikan diri dengan era digitalisasi pertanian sekarang ini.
Wasana Kata
Peran keluarga, sekolah, dan kebijakan pemerintah sangat menentukan kelangsungan sektor pertanian kita ke depannya. Dibutuhkan kerjasama yang baik, sehingga generasi milenial kita mampu membangkitkan rasa kecintaannya pada dunia pertanian, pada budaya agraris Nusantara.
Dengan demikian, saya cukupkan saja babaran penghantar ini untuk mengawali tulisan-tulisan panjang saya berikutnya. Pastikan pembaca budiman sekalian tak ke mana-mana, ya.
Salam sehat dan jangan lupa ngopi.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H