Artikel ini merupakan bagian penghantar daripada tulisan berseri-panjang- saya berikutnya. Karena saya pikir, mengajak milenial bertani itu seperti mengucek pakaian kotor, di mana harus dikucek berulang kali supaya benar-benar bersih.
Dan saya sengaja tidak mengikuti topil petani milenial kompasiana kali ini, karena saya ingin memilih jalan sendiri. Sederhananya, ya, kalau bisa ditulis besok, kenapa harus sekarang? Heu heu heu..[becanda ugh!]
Let get our bussines..!
Mencetak petani milenials itu, hemat saya, harus dimulai dari [1] lingkungan primer, dan [2] lingkungan sekunder. Sebagaimana bertani itu bukan saja soal praksis, bidang kehidupan manusia semata, namun lebih daripada itu bertani merupakan soal membumikan kultur-kebudayaan-agraris.
1. Lingkungan primer
Lingkungan primer yang saya maksud itu keluarga batih: orangtua dan saudara. Lantaran merekalah lingkaran terdekat kita yang sekaligus sangat mempengaruhi aura kongnitif dan psikomotorik anak.
Jika Anda saat ini berposisi sebagai orangtua, maka ajarilah anak-anak Anda sejak dini agar terbiasa [paling tidak mendapat gambaran kasar] soal bertani. Jangan lagi menjejali pikiran anak-anak Anda, bahwa bertani itu pekerjaan yang kotor, menjijikkan, dlsb.
Sebaliknya, jika [masih memungkinkan] anak Anda bercita-cita jadi petani sukses, maka jangan pernah halangi mimpi mereka itu. Sebab kita tidak akan pernah tahu nasib mereka di keesokan harinya seperti apa. Mungkin saja kelak dia bisa sukses karena bertani misalnya.
Biarkan mereka menumbuh-kembangkan bakat mereka dengan bahagia.
Dan saya pikir, kendatipun anak-anak kita bertitel sarjana dan berstatus sebagai pegawai, bukan tidak mungkin [untuk menyatakan sangat mungkin] menekuni dunia pertanian. Entah bertani itu dijadikan pekerjaan sampingan di waktu luang misalnya. Yang penting situasi mendukung, kenapa tidak [?].
Singkatnya, orangtua harus mampu menghadirkan imej pertanian yang positif pada anak-anaknya. Jangan sampai konotasi buruk dapat menguburi minat mereka untuk bertani.