"Mas, boleh enggak saya pegang rambutmu?"
"Inggih. Boleh, Bu." jawabku, tersenyum.
"Unik ya. But, this is for riil?" Tanyanya, sambil memegang ujung rambut saya.
"Inggih, Bu" saya mengiyakan untuk kedua kalinya.
Berikut si Ibu menyarankan saya supaya ketika memasuki semester akhir nanti, baiklah rumbut saya dipotong. Biar ganteng maksimal. Heu heu heu
Fakta lain juga menunjukkan bahwa, dengan identitas rambut gimbal itu juga, keberadaan saya di lingkungan kampus jadi gampang diidentifikasi. Dengan demikian, saya menjadi anak rajin dan hampir tak pernah bolos kuliah.
Sebagai anak timur yang memiliki rambut gimbal di zaman kuliah, acapkali dipersepsikan nakal, kerap bikin onar, pembangkang, pemarah, dan seabrek anggapan miring lainnya. Padahal itu semua merupakan klaim-klaim pincang dan tidak selamanya sahih.
Wong, waktu itu saya sans aja. Bersahabat dengan banyak teman dan sopan pada dosen. Itikad baik itu juga saya tunjukkan di lingkungan tempat saya tinggal alias di kosan. Bahkan, saya dulu sering bertamu ke rumah pak RT setempat. Jadi, biasa aja tuh. Heu heu heu
Ya, yang namanya persepsi manusiaksn kan wajar-wajar saja to. Kendati saya tidak punya kuasa untuk berlaku represif pada pribadi yang punya anggapan-anggapan seperti itu.
Memiliki rambut gimbal, lebih lanjut, kadang kala agak ribet ngurusnya. Maksud saya, karena rambut harus dikeramas setidaknya dua hari sekali, berikut dioles conditioner, dan lain sebagainya.
Belum lagi pada saat tidur, itu ujung rambut nusuk-nusuk ke lobang hidung. Ihh.. bikin bersin-bersin deh. Heu heu heu