Kisutnya jumlah angkatan muda yang bekerja di sektor pertanian saat ini sudi kiranya menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan tentu saja semua pihak di Manggarai.
Tersebab mayoritas masyarakat Manggarai itu bertumpu pada hasil pertanian untuk tetap survive. Paling tidak sejarah sudah membuktikan hal itu.
Tulisan ini juga hadir sebagai dasar epistemologis pilihan sikap kita dalam melihat seperti apa fungsi dan peranan kaum muda Manggarai pada sektor pertanian masa kini dan di masa yang akan datang.
Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di pedesaan Manggarai akhir-akhir ini namun, tak begitu terasa. Yakni, jumlah angkatan muda yang bekerja di sektor pertanian sudah mulai terjun bebas.
Pembaca saleh sekalian tahukah alasan yang melatarbelakanginya? Atau adakah di antara kita yang bisa menerka-nerka apa picu yang melatuk kaum muda saat ini enggan terjun ke ladang?
Saya juga kurang tahu pasti. Tetapi, dugaan saya sejauh ini, menurunnya produktivitas pertanian kita selama ini imbas dari kurangnya partisipasi kaum muda (terkhusus golongan terpelajar). Sehingga yang masih setia membajak sawah kini tinggal generasi tua saja dan sebagian kecilnya pemuda desa.
Tentu saja, minimnya partisipasi kaum muda di sini tak hadir sebagai motif tunggal, tapi karena ada kabut tebal di baliknya yang sekurangnya dapat dibabar ke dalam poin-poin berikut ini;
Pertama, karena kaum muda kita telah dibelenggu oleh idiom lawas "petani itu profesi picisan, maka kuburlah mimpimu untuk jadi petani."
Tak berhenti di situ, idiom itu lalu dipertegas oleh nasihat demonstratif orangtua; "Cukup kami saja yang jadi petani, kamu jangan. Jadilah sarjana (guru atau mantri) biar kerjanya di dalam ruangan dan tidak dipanggang terik matahari."
Idiom dan/atau anggapan-anggapan itu sedini dianggap sebagai keyakinan/kebenaran mutlak (idefix) serta turut membentuk pola pikir kaum muda dalam melihat petani--sebagai profesi yang kelak tidak akan banyak membantu mereka.