Usai mondar-mandir di tengah keramaian kota Labuan Bajo siang hari tadi, sorenya saya hendak menepi ke Bukit Sylvia, salah satu perbukitan indah yang cukup sering saya kunjungi di Labuan Bajo.
Hari ini kota yang berikonkan satwa Komodo tersebut memang sangat cerah. Hampir tidak ada gumpalan awan yang menutupi cahaya matahari. Situasi ini merupakan nilai plus bagi mereka yang ingin menikmati sunset sore harinya.
Bagi saya, Bukit Sylvia itu seperti gadis hitam manis dan berpipi lesung: mudah untuk saya jatuh cinta. Selain datang untuk menikmati udara sejuk sore hari dan menikmati sunset, saya juga ingin mencari "Tangan Tuhan" ketika berada di atas puncak bukit ini.
Ihwal ketika saya berada di atas puncak bukit, sorot mata saya langsung mengarah ke laut biru di depan sana. Saya merasakan, semacam ada tangan yang terbuka lapang menyambut kehadiran saya di sana. Dan kupikir, benar, itu adalah Tangan Tuhan.
Sejauh ini memang, saya belum pernah turun dan/atau mendekat hingga ke bibir pantainya. Tapi menurut cerita orang, area pantainya amat sempit karena didominasi oleh pohon mangrov.
Ya, sudahlah. Tak jadi soal. Yang penting diriku bisa merasakan keramahan Tuhan, angin sepoi nyiur melambai, gulungan ombak, menikmati matahari terbenam, dan pandanganku bisa sampai ke dasar karang laut, sekalipun dari jauh misalnya.
Kalau dulu, saya melihat sunset bukanlah sesuatu yang mengagumkan, takcukup elok dipandang mata. Tidak.
Tapi kini, pandangan saya justru berbalik arah. Saya justeru melihat hal satu ini sebagai sesuatu yang berbeda. Entahlah, mungkin karena bersama "Tangan Tuhan" saya telah menemukan sisi romantisme dari fenomena matahari terbenam.