Di dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Manggarai, misalnya, terdapat kebudayaan agraris yang sudah mengakar dan/atau integral dengan kehidupan petani di pedesaan.
Faktor kebudayaan ini pulalah yang pada dasarnya turut membentuk cara pandang maupun etos kerja masyarakat. Bahkan hadir sebagai energi komunal/kolektifitas.
Sejauh ini pula, ada kecenderungan masyarakat di desa-desa di Manggarai tidak akan mentolerir adanya diferensiasi ekonomi dan sosial antarindividu yang satu dan yang lain.
Contoh konkretnya ialah pada saat pembagian "tana lingko adak" (tanah kas desa adat). Di mana setiap warga desa masing-masing mendapatkan sebidang tanah. Terlepas dari ukuran luas dan lebarnya. Ihwal setiap individu dianggap menjadi bagian dari masyarakat atau warga komunitas.
Atau dengan contoh lain misalnya. Di mana bila ada sanak keluarga yang sama sekali kekurangan lahan untuk menanam (petani kecil), maka si petani besar (yang memiliki tanah yang besar tak terpakai) dalam komunitas itu akan mempersilakan si bersangkutan untuk menggunakanya. Terlepas dari kontrak kerja bagi hasil atau semacamnya.
Dua contoh di atas merupakan implementasi sosiologis petani (kecil dan besar) di pedesaan yang resiprositas. Dalam hal ini bisa disebut juga "asuransi sosial'.
Lebih lanjut, wajah pertanian di Manggarai sejauh ini memang, hemat saya, sudah memasuki babak baru. Di mana sudah ada geliat mengkombinasikan pertanian tradisional dengan pertanian modern (punya segmentasi ekonomi, mencari laba).
Dalam artian, produktivitas pertanian tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tapi lebih dari itu untuk dipasarkan.
Meski harus diakui pula bahwa, untuk keluar dari kebiasaan lama dan mencoba hal baru memang membutuhkan waktu cukup lama. Perlu penyesuaian dan/atau adaptasi.(*)
Salam Cengkeh
Pustaka: