Begitulah, kawan. Merokok adalah koentji sekaligus energi bagi saya dalam menulis-- menaja sebuah tulisan hingga jadi.
Apakah hanya dengan merokok saja? Tentu saja tidak. Selain ngudud, saya juga biasanya akrab dengan segelas kopi hangat, plus berapa buku bacaan sebagai sumber referensi tulisan. Tersebab, tanpa membaca, otak saya akan menjadi sumur yang kering.
Menulis nyambi merokok itu asyik saja sih. Lantaran dengan merokok, otak dalam batok kepala saya lebih terangsang untuk berpikir. Selebihnya, membuat saya lebih fokus dan bersemangat.
Maski terkadang saya juga agak jengkel pasca abu dari batang rokok yang terjepit di kedua jari jatuh disela-sela papan tik laptop pada saat saya serius menaja tulisan. Tapi, tak apalah, khan tinggal ditiup saja. Beres.
Lebih lanjut, ada satu hal dari kegiatan merokok yang saya percayai hingga kini ialah pengaruh dari zat nikotin yang terkandung di dalamnya bisa untuk terapi saraf otak. Hal ini tidak saja hanya dalam kegiatan menulis, tapi juga dalam aktivitas yang lain.
Meski harus diakui pula bahwa, saya adalah tipe perokok kacangan bin ingusan. Bisa dikatakan juga, dalam piramida perokok, saya menduduki posisi stratifikasi paling rendah. Begitulah kira-kira.
Sampai di sini saya juga memang menyadari, bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan jantung dan membuat tampang saya terlihat lebih tua--walau aslinya masih muda dan ganteng.
Tapi, saya pikir, pada kondisi tertentu kesehatan pikiran juga perlu dijadikan proporsi penting. Ihwal bagi sebagian orang, termasuk saya, merokok juga dapat menyehatkan pikiran.
Sehingga terminologi tetang bahaya merokok bagi kesehatan dalam ranah ini dibuang ke tempat sampah saja dulu. Begitu.
**
Lebih lanjut, di tengah rigiditas kesibukan sebagai petani plus penyuluh pertanian di pelosok negeri, saya selalu menyempatkan diri untuk menulis-- menuangkan ide dan/atau gagasan dalam rupa catatan.