**
Bila menghela narasi seputar survei upah harian buruh tani pada November 2020, yang menurut saya tidak seberapa itu, tentu saja menghadirkan dua wajah paradoksal.
Mengingat, sepanjang tahun 2020 (plus di tengah pandemi ini) sektor pertanian justeru mencatatkan rekor pertumbuhan yang baik. Yakni, sebesar 16,4 persen.
Masih bertolak dari data BPS, misalnya, dari bulan April--Juni kinerja sektor pertanian tumbuh sebesar 2,19 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pertumbuhan baik ini tentu saja tak terlepas dari andil buruh tani yang begitu produktif.
Tetapi, saya sendiri berpikiran bahwa, kenaikan upah harian buruh tani pada Oktober 2020 ini, merupakan imbas dari kinerja baik sektor pertanian sepanjang April-Juni kemarin.
Entah, mungkin itu bentuk kompensasi lebih untuk buruh tani yang selama ini ikut menggerakan sektor pertanian kita. Ya. Meski jumlahnya tidak seberapa. Tapi, patut disyukuri juga.
**
Berbicara tentang persamaan upah nominal dan upah riil yang diterima oleh buruh tani, saya pikir, pada situasi tertentu memang tidak selalu setara antar keduanya. Apalgi berbicara tentang upah buruh tani di wilayah perdesaan, misalnya.
Saya ambil contoh saja, menyoal upah buruh tani yang umumnya diberlakukan di tempat saya tinggal, Manggarai, Flores.
Di sini kami menerapkan upah buruh tani sesuai dengan kesepakatan antar si buruh dan pemilik lahan. Upah yang diberikanpun lumayan besar. Hal itu seturut dengan beban jam kerja yang diberikan kepada buruh tani.
Upah harian buruh tani di sini dipatok mulai dari Rp.70.000,00 sampai 75.000,00. Nominal ini belum termasuk biaya untuk konsumsi dan segala macam. Jam kerja yang diberikan pun sama, yakni 8 jam perhari. Kurang lebih begitulah.