Dalam kalender geografi, Desember itu dikategorikan sebagai bulan basah, karena hujan turun secara intens. Tetapi, dalam kalender gerejawi, Desember itu bulan mengenang Yesus Kristus Lahir (Natal). Sementara dalam kalender petani, Desember itu bulan bercocok tanam.
Begitulah saudara-saudara, bulan Desember merupakan diskursus yang menyenangkan lagi mengasyikkan.
Tak terasa memang, Hari Raya Natal sudah di depan mata. Ya. Paling tidak, puncaknya semakin terang terlihat dari posisi saya berpijak.
Meski tak dimungkiri, perayaan Natal kali ini berasa kurang ngeh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika Natal tahun kemarin ditandai dengan bangku gereja penuh sesak, durasi misa diperlama, saling salam-berjabatan tangan berikut ngantre berswafoto di depan kandang Natal.
Tapi, di tengah pandemi kali ini, kebiasaan Natal semacam itu tidak bisa dilakukan lagi karena kita harus menjaga jarak dan mengurangi kontak fisik dengan manusia lain, demi memutuskan rantai penyebaran virus corona.
Meski demikian, yang perlu dijadikan proporsi penting di sini ialah walaupun ada sekat dan pembatasan sosial, dengan merayakan Natal dari rumah, bukan berarti kita memberi jarak dengan Tuhan. Justeru di tengah situasi batas ini kita diajak untuk lebih militan menjalani hidup di dalam Tuhan.
Dengan begitu, bukakan hati seluas samudra untuk menyambut kelahiran Sang Juru Selamat.
**
Merayakan Natal dikala pandemi begini memang berasa gemes ya. Seakan tidak ada aktivitas Natal yang lebih menonjol.
Begitupun halnya dengan hasrat yang sesekini jadi kisut untuk melangkahkan kaki ke toko; membeli baju, celana dan sepatu baru.