Sewaktu usia saya masih bocah, saya sering menyaksikan umat di stasi paroki dan juga para orang tua murid datang ke rumah kami. Lantaran bapak saya dulunya selain berprofesi sebagai seorang guru juga merangkap sebagai dewan paroki.
Umat dan para orangtua murid ini datang dengan maksud-maksud tertentu dan masih setali tiga uang dengan urusan gerejawi dan sekolah anaknya.
Mereka biasanya datang tidak dengan tangan kosong. Pasti saja membawa sebotol tuak (plus rokok). Lalu, mereka mulai berbicara dalam nada suara yang merendah.
Menurut sang bapak, tuak yang mereka bawakan itu sebagai simbol penghormatan. Selebihnya, saat kita ingin menyampaikan pesan penting kepada seseorang, kita bisa bicarakan dengan tuak.
Dari cerita beliau itulah, saya semakin memahami bahwa tuak punya peran yang istimewa dalam masyarakat. Pada perjalanannya pula, tuak turut membentuk pola berpikir dan bertindak masyarakat di tempat saya.
Dalam kehidupan sehari-hari juga, tuak menjadi medium penting dalam memulai sebuah percakapan, untuk meminta maaf, menyambut tamu, merayakan kehidupan, merenungkan bahkan untuk memaknai kematian.
Begitulah. Kedudukan tuak sedemikian integral dan tak terpisahkan dengan semua aspek kehidupan bermasyarakat.
***
Di Manggarai, saya pribadi kurang tahu pasti sejak kapan nenek moyang kami mulai memproduksi tuak dari hasil penyulingan air nira ini. Entahlah sudah lama sekali soalnya.
Tapi menurut cerita yang diwariskan lewat sekolah lisan (penuturan) para tetua di desa, tuak dulunya hanya dipergunakan sebagai minuman dalam jamuan upacara-upacara adat.
Namun, seiring lintas generasi, dari zaman baheula ke zaman millenium sekarang ini, tuak sudah menjadi minuman keseharian. Sampai di sini tuak tidak hanya di konsumsi oleh para sesepuh saja, tapi juga ikut dicecap oleh kaula muda seperti saya, misalnya.