Mengonsumsi minuman beralkohol (OH) dan/atau minuman keras lokal seperti tuak, sopi dan moke itu bagian dari ekspresi budaya. Jadi, tidak perlu dilarang.
Tulisan ini sengaja dibuat sebagai dasar epistemologis pilihan sikap kita dalam memandang RUU Larangan Minuman Beralkohol (minol) dan/atau minuman keras (miras) di wilayah NKRI.
Baru-baru ini, misalnya, beberapa fraksi DPR-RI di Senayan, Jakarta, mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol).
Beberapa fraksi di DPR yang mengusulkan RUU itu antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.
Lebih lanjut, bila menghela narasi seputar draft RUU Larangan Minol ini, di dalam bab 3 disebutkan bahwa, setiap orang dilarang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan menjual Minol di wilayah NKRI.
Sementara itu di bab 8 disebutkan bahwa, penggunaan Minol hanya diperbolehkan pada situasi terbatas. Misal, pada saat ritual adat, upacara keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Tujuan disodorkannya RUU Larangan Minol tersebut dimaksudkan untuk melindungi segenap masyarakat dari dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari minuman beralkohol. Selebihnya, menciptakan ketertiban dan ketentraman dari peminum alkohol.
***
Bertolak dari logika yang dibangun dalam bab 3 RUU Larangan Minol itu, bisa disimpulkan mereka memposisikan miras sebagai sesuatu yang buruk, memabukkan, merugikan kesehatan, penyebab anarkistis, dan lain sebagainya.
Tidak ada salahnya memang bila menggunakan beberapa indikator itu untuk memerangi miras. Kalaupun perilaku si pemabuk itu sampai merugikan orang lain, ya, tangkap dan proses hukum saja.