Beberapa hari yang lalu, di tengah obrolan santai dengan bapak di pendopo rumah, saya sempat menceritakan kepadanya seputar dunia blogger Kompasiana.
Saya katakan kepada beliau bahwa, Kompasiana itu seperti natas; halaman luas di tengah kampung tempat orang Manggarai berkumpul. Entah itu untuk seakadar ngopi bersama, kongkow bareng dan sebagainya.
Pada dasarnya, selama ini beliau tidak tahu bahwa saya sering mem-posting tulisan di Kompasiana. Yang ia tahu, hobi saya hanya memancing ikan dan sesekali mengkoker bibit cengkeh di belakang dapur. Itu saja.
Banyak yang saya ceritakan pada beliau tentang Kompasiana. Di antaranya diskursus seputar ritual agraris masyarakat adat lintas etnis yang saya baca dalam tulisan Kompasianer, hingga interaksi yang begitu alot antar sesama penulis.
Saya sampaikan, pola kebudayaan agraris masyarakat Manggarai hampir memiliki banyak kesamaan dengan apa yang saya temui dalam komunitas adat Dayak Desa, Batak Toba, Dawan Timor hingga Tanah Karo.
Begitu pula dengan fungsi babi dan tuak sebagai ternak dan minuman adat misalnya. Dari semua kemiripan ritual itu, perbedaannya cuma satu, yakni ihwal sebutannya saja.
Kemarin malam juga, saya sempat mem-print out beberapa lembar tulisan budaya dari Pak Felix, Rm Greg, Eja Neno dan Pak Teo untuk dibacakan oleh bapak. Ya, hitung-hitung untuk mengisi waktu kosongnya semasa pensiun ini.
Setelah membaca tulisan-tulisan itu, respon beliau sangat menarik sembari menyimpan kekaguman atas ragam budaya Nusantara yang dalam praktiknya mempunyai kemiripan. Selebihnya, karena esensi dari ritual-ritual itu bermuara akhir pada Tuhan.
Kompasiana Sebagai Wadah Komunikasi Lintas Etnis
Bukan sekadar chimera tentu saja, ihwal selama setahun lebih mencebur diri di blog ini, yang saya rasakan komunikasi antaretnis begitu sangat menonjol di Kompasiana.
Setidaknya dalam hal ini, saya sepakat dengan proposisi Pak Felix yang menyebutkan bahwa, Kompasiana sudah menjadi wadah pengenalan dan jembatan komunikasi antaretnis.
Meskipun dalam hal ini pihak Kompasiana tidak secara langsung mengklasifikasi dan/atau membuat sebuah peleton berbasis etnisitas, tentu saja. Tetapi memang hakikat ‘media warga’ itu sendiri, menurut saya, memberikan peluang yang besar bagi terbukanya ruang komunikasi.