Setiap tahun kita akan memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang dirayakan setiap tanggal 24 September. Terkait perayaan itu, sulit rasanya melupakan keprihatinan akan nasib para petani yang tidak selalu untung.
Dalam banyak hal petani masih dipandang sebelah mata. Sebut saja misalnya, lahan mereka yang acapkali dirampas korporasi untuk perkebunan sawit dan pertambangan, sulitnya pelaksanaan redistribusi tanah, tersendatnya legalisasi atau sertifikasi tanah obyek reforma agraria dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Bahkan banyak petani kecil yang hingga kini terbelenggu oleh masalah-masalah agraria. Mereka diusir dari lahannya sendiri, seperti kasus-kasus di Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur, dll. Mereka menjadi saksi bisu terhadap kekerasan dan perampasan tanah yang umumnya menimpa masyarakat pedesaan.
Pemandangan ini justru amat kontras bila sejenak kita menoleh sedikit ke belakang. Di mana awal mula kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disebut-sebut sebagai karya monumental para pendiri bangsa, Soekarno dkk.
Kelahiran UUPA dimaksudkan juga sebagai tonggak pelaksanaan reforma agraria. Namun, itu hanya cerita masa lalu. Kini UUPA dalam pelaksanaannya terus dikhianati.
Menjelang periode pertama pemerintahan Jokowi, misalnya, gerakan reforma agraria kembali menegaskan bahwa, Reforma Agraria adalah jalan utama untuk mewujudkan cita-cita awal para pendiri bangsa.
Pelaksanaan reforma agraria merupakan agenda besar bangsa yang wajib dilaksanakan tanpa syarat oleh pemerintah Jokowi-JK demi mewujudkan Indonesia adil sejahtera yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Sehingga dalam perkembangannya, pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No 86/ 20188 tentang Reforma Agraria yang ditandatangani pada 24 September 2018 merupakan wujud komitmen politik pemerintah yang digaungkan sejak 2014.
Namun, setelah Perpres Reforma Agraria itu resmi berlaku, fakta di depan mata kasus perampasan tanah milik petani dan/atau lahan masyarakat adat makin menggurita dan menjalar di mana-mana di republik ini.
Sepanjang tahun 2018 saja misalnya, ratusan ribu petani dan masyarakat adat yang tersebar di seluruh reksa wilayah Indonesia menjadi korban dari 326 konflik sumber daya alam dan agraria.