Pada tulisannya yang berjudul "Kita Hidup, Harusnya Menjadi Manusia bagi Sesama, Bukan Menjadi Tuhan: Sejenak Berfilsafat" (K, 3/09/2020), Romo Greg (begitu saya memanggilnya) sempat menyenggol soal kalimat "Cogito Ergo Sum" pada bagian penutup tulisannya.
Filsuf Renė Descrates pernah berkata: "Saya berpikir, maka saya ada"..(cogito ergo sum). Karena dengan berpikir saja tidak cukup bagi kita untuk bereksistensi, maka kita harus menambahkan: "Saya mencinta, maka saya ada". Begitu kata Romo Greg.
Secara keseluruhan, tulisan Romo Greg itu sarat reflektif. Beliau mengajak kepada segenap insyan untuk menjadi pribadi yang peduli. Atau dalam istilah lain, menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainya.
Picu yang melatuk saya menelurkan tulisan ini tak lain karena saya tertantang untuk mendiskursuskan ucapan 'Cogito Ergo Sum' ala Descrates ini. Sembari bersemangat untuk merefleksikan makna yang terkandung didalam ucapan itu.
Yang walaupun gaya filsafat Descrates tidak banyak yang saya tahu. Maka dengan segala keterbatasan pengetahuan, saya coba mengikis ketidaktahuan itu dengan membuat refleksi singkat ini.
Pada tulisan ini pula saya akan memadukan sedikit pandangan Gottfried Leibniz tentang cara pandang (baca: pikiran) manusia dalam memandang keberadaan sesama ciptaanNya.
***
Saya pribadi memaknai ungkapan "Cogito Ergo Sum" untuk menjelaskan keberadaan manusia yang ditentukan oleh kegiatan berpikir. Termasuk di dalamnya cara berpikir dan memandang sesuatu, sekalipun itu hal yang terkecil dan/atau sederhana, misalnya.
Dalam artian, hidup berarti berpikir dan berpikir untuk hidup. Mustahil bagi kita hidup tanpa berpikir, bukan? Untuk bisa bertahan hidup kita musti berpikir. Ya, entah itu mikirnya banyak atau sedikit, serius atau santuy, simpel atau rumit beserta pelbagai kompleksitasnya.
Penghargaan terhadap keberadaan manusia akan memberikan kebebasan untuk dapat mengeskpresikan hidup ini secara wajar adanya dan amat manusiawi dalam kegiatan berpikir, tentu saja.