Demikian halnya bila mendiskursuskan hasil karya seni seseorang yang adalah bukti adanya kreativitas berpikir yang bernilai tinggi. Dengan simplifikasinya, pekerja berpikir, penulis berpikir, petani berpikir dan pelukis berpikir. Singkatnya, yang hidup berpikir.
Dari pemikiran-pemikiran tersebutlah yang kemudian menciptakan warna-warni dari sebuah kehidupan yang sarat indah, menawan dan memukau jiwa. Dan dari kesemua keindahan itu, Tuhan-lah yang menjadi titik pusatnya.
Tuhan, yang oleh setiap pemeluk agama disebut dengan nama yang berbeda, adalah keindahan yang tak pernah tertandingi. Dia hadir ke dalam bentuk rupa; alam dan segala isinya, termasuk ke dalam diri saya dan Anda, tentu saja.
Lebih lanjut, bila mengutip pandangan filsuf Leibniz (dalam The monadology of Leibniz); Tuhan telah menunjukkan eksistensinya di dalam semua ciptaan, tak terkecuali ke dalam jasad-jasad organik. Ihwal, Tuhan telah menciptakan tempat tinggal kita ini (baca: bumi) sebagai dunia yang terbaik dari dunia lainnya.
Sehingga sudah menjadi kosekuensi logis bila kita saling menjaga, mencintai dan merawat sesama ciptaanNya. Selebihnya, tak lupa memanjatkan puji syukur kehadirat Sang Pencipta.
Ada begitu banyak cara kita untuk bersyukur, salah satunya dengan berekreasi ke pantai tanpa meninggalkan sampah plastik, misalnya.
Atau salah duanya, berwisata ekologis (baca: ke kebun/hutan) tanpa merusak ekosistem hutan. Seperti tidak menebang dan membakar hutan sembarangan. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Singkatnya, ekspresikan diri dan pikiran dengan lingkungan dan alam sekitar tanpa punya orientasi merusak.
Demikian kiranya refleksi singkat menyoal "Cogito Ergo Sum" yang kalau ditik menggunakan kacamata seorang Leibnizan.(*)
Akhirul kata, salam hangat untuk Romo Greg, sumber inspirasi dalam tulisan ini.
Terima kasih pula untuk rekan-rekan sekalian yang menyempatkan diri untuk membaca. Tuhan memberkati.