Tulisan ini di buat persisnya ketika saya sedang berada dibawah rerimbunan pohon cengkeh, dan sementara bersandar di pokok pohon.
Tadinya di atas pohon cengkeh, saya iseng-iseng ngompasiana, karena melihat kedua Kompasianer panutan saya berencana untuk pamit, makanya saya turun.
Jadi, berkesadaran pada hal itu, hati saya terpanggil untuk menuliskan hal ini.
Pendek kata, siang menjelang sore ini, saya merasa sedih sekali seketika membaca tulisan Bapa Tjiptadinata yang berencana untuk pamit dari Kompasiana.
Meski dalam artikelnya itu, beliau tidak secara terang-terangan mengatakan untuk pamit, tapi dugaan saya arahnya kesana. (Monggo dikoreksi bila saya keliru menafsirkan).
Ihwal bagi saya, Bapa Tjiptadinata adalah Tua Golo-nya kampung Kompasiana. "Tua Golo" dapat diartikan sebagai orang yang dituakan, bijaksana dan paling dihormati dalam komunitas masyarakat adat Manggarai.
Berdasarkan pada anggapan ini, saya selalu bangga bukan kepalang, bila setiap kali merilis tulisan di K, Bapa Tjip selalu hadir pertama menyapa dan mengapresiasi.
Karena kebetulan, tulisan saya kebanyakan seputar pertanian, Bapa Tjip juga acapkali menyempatkan waktunya untuk bercerita seputar pengalamannya berbisnis cengkeh selama menjadi pengusaha sukses di Sumatera sana.
Tentunya, hal-hal seperti ini yang menjadi alasan kuat bagi saya selalu merasa ngompasiana itu amat bergairah.
Lebih lanjut, selain Tua Golo ada juga 'Tua Teno'. Dan Tua Teno di Kompasiana ini menurut saya adalah Bapa Felix Tani.
Sebagaimana dalam tataran kehidupan orang Manggarai, Tua Teno adalah tetua yang dipercayakan untuk memimpin pembagian jatah atas tanah dan mengurusi sengketa dalam satu lingko beo (tanah adat).