Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyelisik Keterkaitan Integral Antar Kita Manusia dengan Alam

26 Februari 2020   14:15 Diperbarui: 27 Februari 2020   23:47 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon"

Menjai petani, tentu aktifitas setiap harinya tidak jauh dengan tanah dan pohon. Paling tidak dalam hal ini saya mencontohkan diri saya sendiri.

Sebagai petani yang jatuh cinta pada pemikiran Gottfried Leibniz, saya punya keyakinan teguh bahwa tumbuhan memiliki jiwa dan bisa merasakan sebagaimana mahluk ciptaanNya yang lain.

Sehingga berkesadaran pada hal itu, saya lebih menggarisbawahi sebuah prinsip dasar tentang keterkaitan yang integral antar kita sebagai mahluk hidup dan jagat ekosistem.

Baca juga : Mitologi "Manusia Bambu", dan Filsafat Leibniz

Bila kita mengulik Konfrensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang berlangsung di Rio de Janeiro, 1992 memunculkan lagi sebuah kesadaran yang kuat tentang prinsip hidup integral dengan alam. Alam memiliki hukumnya sendiri untuk secara niscaya merawat semua yang hidup dalam sebuah gerak keseimbangan yang abadi. [WikipediA]

Hal ini saya pikir sangat relefan dengan pemikiran Gottfried Leibniz, yang dalam kajian-kajian dan terminologi filsafatnya bahwa sejak awal penciptaan Tuhan telah menciptakan segala sesuatu (monade-monade) untuk bergerak dan jalan beriringan (saling melengkapi) antar satu dengan yang lain.

Leibniz juga berpandangan bahwa, bumi tempat kita berpijak ini merupakan dunia ciptaan yang terbaik dari dunia yang lainnya. Sehingga sebagai sesama ciptaan sepatutnya kita harus saling menjaga.

Berdiri Bersama pohon

Sebagai penduduk lokal yang lahir dan besar dalam lingkungan adat (Manggarai), kami masih kental menghayati hidup lewat ungkapan Go'et dan Seloka yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang agar menjaga alam dan ciptaanNya yang lain.

Yang diantaranya; "Neka Poka Puar, Jaga Meti Wae.(jangan menebang hutan sembarangan, biarkan air tetap mengalir), juga "Neka Tapa Satar, Jaga Kolang Tana Lino, (jangan membakar lahan, supaya bumi tidak kering kerontang)"

Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran ekologis masyarakat, bahwa prinsipnya kita dengan alam saling keterganntungan. Masyarakat adat dan komunitas adat memiliki relasi historis dengan alam. Tentu demi kehidupan generasi selanjutnya.

Nenek moyang kami masyarakat Manggarai, sudah mewariskan pengajaran-pengajaran tradisional yang holistik dengan alam, sumber daya alam dan lingkungan tempat tinggal.

Masyarakat Manggarai juga telah menerapkan pola pembangunan berkelanjutan yang selaraws dengan alam berdasarkan paradigm relasi integral antar segenap ciptaan, pembangunan berkelanjutan, budaya sosial dan ekonomi masyarakat adat.

Merawat Pohon

Dalam kacamata saya sebagai petani cengkeh, tanaman cengkeh tidak selalu ditaksir dari pemikiran rupiah. Tidak juga melulu berkaitan dengan isi perut semata. Tapi lebih dari pada itu. Yakni bagaimana menjaga alam tetap hijau, asri dan berkontribusi bagi sumber daya oksigen di desa.

Ihwal  prolog diatas; "Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon".  Sedini mengajak kita untuk memahami secara ekologis sebagai penopang keberlangsungan hidup segenap mahluk, maka dengan adanya pohon (hutan) menentukan hidup matinya segenap mahluk hidup diplanet ini.

Ketika hutan makin rusak, sesungguhnya pada saat yang sama terjadi kepunahan  sistematis terhadap mahluk hidup yang bergantung kepada hutan. Perubahan sikap manusia menjadi pemicu utama berubahnya hakekat bumi. Kini bumi sangat menderita, tidak ada damai antar bumi dan manusia, bumi terluka kita manusia juga terluka.

Hal ini lah yang kurang lebih menurut Leibnis sebagai 'Keburukan Fisik''.

Manusia yang semakin tidak bersahabat dengan hutan (pohon) sesungguhnya sedang merusak dirinya sendiri dan hidupnya secara sistematik. Degradasi hutan akan mengancam mahluk-mahluk hidup yang bergantung kepada hutan.

Kita perlu memahami bahwa tanaman dan hewan memiliki kedudukan spiritual dan etik seperti kita manusia. Maka dari itu kita butuh sebuah identifikasi dan solidaritas dengan semua mahluk hidup. Hematnya, usaha untuk mengeksploitasi hutan perlu mempertimbangkan peran unsur-unsur alami (monade-monade) itu dalam rantai ekosistem kehidupan bersama.

Sebagai penutup, sebagai masyarakat adat yang bermukim di desa juga dekat dengan hutan sudi kiranya kita bertanggungjawab atas kelestarian hutan. Pun pada prinsipnya bagaimana menjaga hutan dengan pendekatan kearifan lokal.

Mari lestarikan bumi kita!

Bacaan : Satu, Dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun