Diskursus mengenai pendidikan di wilayah pelosok Manggarai, Flores-NTT, aduh mirisnya memang kelewatan. Selain sarana prasarana penunjang belajar yang kurang memadai, juga masalah administratif sekolah yang kacau balau.
Tapi dibalik semua keterbatasan itu, semangat bersekolah dan belajar adik-adik disini tidak main-main, meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk datang ke sekolah.
Adalah Rio, Marselo, Martin dan Vian. Keempat adik-adik ini adalah murid Sekolah Dasar (SD) Hita, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Masing-masing dari mereka ini ada yang duduk dikelas III dan V.
Sedikit saya bercerita, kebetulan mereka ber-4 ini berasal dari satu kampung yang sama yaitu dari Desa Pau dan letaknya cukup jauh dari sekolah tempat mereka belajar. Jadi bila hendak kesekolah setiap harinya, mereka kerap berjalan kaki dan tanpa mengenakan sandal apalagi sepatu.
Merupakan sebuah keberuntungan bila ada truk-truk/ mobil yang kebetulan lewat dari dan menuju ke desanya. Mereka biasanya menumpang sama om supir, setidaknya bisa menghemat energi mereka kesekolah.
Dua hari yang lalu saya menjumpai mereka diperjalanan sepulang sekolah. Kebetulan jalanan sepi kendaraan. Tampak mata mereka menyorot tajam kearah truk yang saya tumpangi. Dan ketika berada persis didekat mereka, saya memberhentikan mobil. Saya perhatiakan raut wajah mereka begitu kusut dan layu. "Kasihan mereka. Pasti mereka sangat lapar" pikirku singkat.
"Ade naik sudah. Jangan gantong dipinggir ee. Awas jatoh nanti!" sahut saya
"Io om. Terimakasih" jawab mereka
"Oke ade. Baku pegang tangan nanti. Nanti sa antar sampe kampung ee" lanjut saya lagi
"Io om. Kami su biasa" terangnya
Setelah mereka naik, kamipun melanjutkan perjalanan. Ditengah perjalanan, saya mengajak mereka untuk ngobrol-ngobrol santai. Saya tahu persis pengalaman dan perjuangan mereka kesekolah setiap harinya. Kendati kultus jalan kaki kesekolah ini sudah terjadi sejak angkatan sebelum mereka.
Tentu ini bukan menjadi tradisi yang baru lagi, toh mereka sendiri sudah terbiasa berjalan kaki setiap kali berangkat sekolah. Tapi pertanyaannya entah sampai kapan? Saya juga tidak punya jawaban pasti terkait hal ini.
Tak lupa pula saya memberikan wejangan dan peneguhan kepada mereka. Bawasannya, sayapun dulu pernah melalui fase-fase sulit seperti mereka. Tentu jalan keluarnya bukan dengan mengeluh, melainkan mengilhami ini sebagai awal dari sebuah keniscayaan.
Saya sangat mengagumi dan menngapresiasi perjuangan mereka untuk bersekolah dan mengeyam pendidikan. Meski berangkat dari kesadaran ekologis- ekonomi; orangtua petani dan berasal dari keluarga yang termarginalkan secara ekonomi.