Kominfo berencana membentuk Dewan Media Sosial (DMS) dengan fungsi mirip dengan Dewan Pers, tetapi mengatur konten yang dibuat oleh masyarakat luas seperti netizen, influencer, dan content creators. Tentunya, dewan ini bukan untuk mengatur konten dari perusahaan media. Selain itu, dewan ini juga bertugas mengawasi dan menengahi konflik yang terjadi di media sosial. Namun, ada kekhawatiran bahwa dewan ini justru akan membungkam kebebasan berekspresi netizen.
Usulan pembentukan DMS ini muncul untuk memastikan penilaian terhadap konten bermasalah melibatkan lebih banyak pihak dan diharapkan bersifat independen seperti Dewan Pers. Dengan demikian, konten yang dianggap bermasalah harus mendapat rekomendasi dari dewan ini sebelum ditindak. Namun, saat ini belum jelas bagaimana legalitas pembentukan dewan ini karena belum ada aturan dalam undang-undang yang mendukungnya.
Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum menjelaskan bahwa usulan ini diajukan oleh SAFEnet tahun lalu saat revisi kedua UU ITE tetapi ditolak. SAFEnet, UNESCO, Universitas Gajah Mada, dan Center of Digital Society pernah melakukan riset terkait hal ini pada 2022. Sekarang, Kominfo kembali menyuarakan ide ini, tetapi masih belum jelas legitimasinya. Menurut Nenden, jika dewan ini berada di bawah Kominfo, ada kemungkinan intervensi yang dapat mengancam independensinya.
Beberapa pegiat demokrasi dan kelompok masyarakat sipil, seperti ketua YLBHI Muhammad Isnur, mengkritisi rencana ini. Isnur berpendapat bahwa pembentukan DMS mungkin tidak akan sesuai dengan konsep awal yang meniru lembaga di Eropa yang mendorong masyarakat sipil untuk berpartisipasi agar pemerintah tidak represif dalam mengontrol media sosial. Adanya pasal-pasal UU ITE dan sikap pemerintah yang cenderung membungkam kritik, membuat kekhawatiran bahwa DMS ini bisa menjadi alat kontrol baru.
DMS dikhawatirkan justru menjadi alat pembungkam alih-alih menjamin kebebasan berekspresi seperti Dewan Pers. Ada kekhawatiran bahwa DMS bisa digunakan untuk melegitimasi penyensoran terutama terhadap mereka yang kritis dan memiliki pandangan berbeda. Komentar dari Prabowo (Presiden terpilih) dalam berbagai kesempatan yang mengancam pers juga memperkuat kekhawatiran ini.
Maka dari itu, perlu ada lembaga independen yang benar-benar paham tentang media sosial dan content creation yang dilibatkan dalam DMS. Ini agar dewan bisa melihat dari dua sisi yang berbeda. Kekhawatiran lainnya adalah jika orang yang membuat regulasi tersebut tidak paham tentang konten, hal ini bisa menjadi lucu dan tidak efektif. Harapannya, kehadiran DMS ini benar-benar bisa menjamin kebebasan berekspresi dan berdiri secara mandiri tanpa adanya intervensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H