Mohon tunggu...
Gugi Abdel
Gugi Abdel Mohon Tunggu... -

Perintah pertama Allah kepada manusia adalah "Iqra" yang artinya "Baca". Maka marilah kita membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beli Mobil, Mampu Gak Sih?

8 Mei 2014   22:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu indikator dari negara berkembang adalah  konsumsi yang terus meningkat. Dengan masyarakat yang pendapatannya meningkat, maka mereka akan meningkatkan konsumsinya. Salah satunya adalah mobil. Dengan kemudahan seperti DP yang ringan dan tenor pinjaman yang bisa samapi 5 tahun, membuat membeli mobil “tampak” menjadi lebih “terjangkau”. Dan mobil bukan lagi menjadi kebutuhan, tetapi menjadi sesuatu yang bisa menunjukan tingkat sosial kita.

Generasi muda saat ini, mempunyai berbagai indicator untuk menunjukan bahwa mereka adalah kaum yang mapan. Mulai dari smartphone yang harganya bisa sampai belasan juta, pakaian dengan label brand luar, makan dan hangout di resto atau café yang sedang hits, sampai mobil yang dikendarainya.

Laporan (http://rage.com.my/content/stories/till-debt-do-you-part/) dari Federation of Malaysian Consumers Associations (FOMCA), menyebutkan kalau 47% generasi muda Malaysia memiliki status “serious debt” yaitu rasio cicilan hutang mereka diatas 30% dari penghasilan mereka. Dan cicilan ini didominasi dengan kartu kredit dan cicilan mobil. Bagi generasi muda Malaysia, mempunyai mobil adalah sesuatu yang keren dan sudah menjadi kultur mereka saat ini. Tetapi mereka tidak sadar kalau hutang tersebut akan menggerogoti cashflow mereka dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa bangkrut karena hutang tersebut.

Memang sampai saat ini saya belum pernah melihat data mengenai status hutang dari generasi muda Indonesia. Tapi menurut saya pribadi, kita yang tinggal di kota besar, tidak jauh berbeda dengan keadaan di Malaysia. Wajar memang kalau pendaptan meningkat, konsumsi juga meningkat. Tapi kita harus mempunyai batasan untuk itu.

Oleh karena itu, saya mencoba untuk membuat asumsi perhitungan apakah kita butuh / mampu mempunyai mobil dibandingkan dengan kita menggunakan media lain.

Asumsi membeli mobil dengan harga Rp 120.000.000. Ini bisa beli mobil bekas atau baru. Dengan perhitungan dari salah satu bank untuk pembiayaan mobil, didapatkan kalau DP 30% dan biaya lainnya, kita harus membayar Rp 45.520.000. Dengan cicilan Rp 2.310.000 / bulan selama 4 tahun.

Ini belum lagi termasuk bensin perbulan, lets say kita keluar untuk bensin, tol, dan parkir Rp 1.000.000 / bulan. Dan ingat ada biaya servis rutin dan kalau ada part yang rusak kita harus ganti, asumsikan setiap bulan kita anggarkan Rp 300.000 / bulan untuk ini. Maka setiap bulan, untuk “memberi makan” mobil kita harus keluar Rp 3.610.000. Ini belum dihitung dengan depresiasi harga mobil yang bisa turun 10% setiap tahunnya. Dan belum lagi kalau kita menggunakan supir, asumsikan kalau perbulannya kita keluar Rp 3.000.000 untuk gaji supir plus biaya makan dan lembur. Tapi tentunya kalau sudah bisa hire supir, maka keuangannya pun juga sudah mumpuni dan biasanya sudah mencapai usia yang lebih matang.

Sekarang kita asumsikan kalau kita naik angkutan umum, baik itu naik kereta, bus, taksi, ojek, ataupun angkot. Sepanjang saya bertemu dengan klien dan melihat pengeluaran untuk transportasi bisa diasumsikan tiap bulan dianggarkan Rp 1.200.000. Ini sudah termasuk kalau kita kadang naik taksi ataupun ojek, dan berbagai metode lainnya. Kalau ingin keluar kota, kita bisa menyewa mobil rental, asumsikan kita keluar biaya Rp 800.000/ hari untuk sewa plus bensin dan tol. Dan tentu kita tidak setiap bulan pergi keluar kota,

Perbedaan yang signifikan kalau kita melihat bahwa perbedaannya bisa sampai 3x lipat kalau kita menggunakan mobil pribadi dibandingkan dengan menggunakan angkutan umum.

Tentu kalau kita membandingkan dengan motor akan jauh lebih murah lagi biayanya. Tetapi saya tidak memasukan sebagai perbandingan. Saya ingin menunjukan angka yang kita keluarkan bila mempunyai mobil versus menggunakan angkutan umum.

Kalau melihat dari manfaat yang intangible, naik mobil tentu lebih privasi, kita tidak perlu berdesakan dengan orang lain. Kita bisa lebih santai menggunakan mobil pribadi karena tidak usah berkejaran dengan jadwal kereta, kita pun tidak akan cemas dengan gangguan dengan kereta kalau kita menggunakan mobil, dengan mobil pribadi juga kita tidak terlalu khawatir dengan pelecehan seksual yang ada di angkutan umum ataupun kriminalitas di angkutan umum, walaupun kita tidak bisa pungkiri kalau banyak juga kriminalitas yang menyerang mobil pribadi, kalau kita mempunyai pekerjaan yang mengharuskan mobile maka akan lebih mudah kalau mempunyai kendaraan pribadi daripada naik angkutan umum, dan banyak lagi perbedaan yang kita bisa temui.

Namun saya ingin menekankan kalau kita harus menghitung cashflow kita pribadi. Apakah kita mampu untuk mempunyai mobil dengan perhitungan yang saya paparkan di atas. Adapun patokan untuk cicilan perbulan itu maksimal 30%/bulan. Ini sudah termasuk cicilan kendaraan, kartu kredit dan KPR. Kita hidup bukan hanya untuk bulan ini ataupun 5 tahun ke depan. Kita hidup dengan penghasilan untuk memenuhi puluhan tahun ke depan. Maka kita kita harus menyisihkan per bulan minimal 10% untuk menabung dan investasi.

SIlakan menghitung cashflow kalian, apakah kalian mampu untuk mempunyai mobil? Itu pilihan kalian.

Goodluck!

@gugiabdel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun