Mohon tunggu...
Gudang Imaji
Gudang Imaji Mohon Tunggu... Guru -

My Cover is not My Future

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi Itu ...

24 Juli 2016   19:01 Diperbarui: 24 Juli 2016   19:18 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


       “Menurutmu apa definisi mimpi itu?” tanya Ardi kepadaku dalam kesunyian kamarnya. Aku terngiang sejenak, berusaha mengolah kata demi kata di dalam otakku agar aku bisa menjelaskannya.
       “Hmmm..Mimpi itu…” Aku mulai memaparkan.
       “Sebuah kehidupan. Ya, mimpi itu sebuah kehidupan,” jawabku padanya.
       “Sebuah kehidupan? Apa maksudmu?” tanyanya yang terlihat tak mengerti dengan ucapanku.

       Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Ardi. Entah, apakah ia benar-benar tidak mengerti dengan ucapanku di usianya yang hampir menginjak 18 tahun atau hanya memastikannya saja. Meski begitu, aku akan tetap menjelaskan.
       “Seperti ban dalam motor.  Kalau tidak diisi dengan angin, ban tersebut tidak akan berfungsi apa-apa. Terlebih untuk menjalankan sepeda motor, itu sangat mustahil. Begitulah mimpi, mimpi adalah awal dimana kita memusatkan tujuan hidup kita. Kalau kita tidak mempunyai mimpi, maka hidup kita tidak akan maksimal. Hidup kita akan sedikit di luar jalur, bahkan bisa berantakan. Banyak orang beranggapan bahwa mereka bisa menemukan mimpi setelah mereka hidup. Padahal, itu semua berbanding terbalik. Mimpi, adalah langkah awal, bukan langkah akhir. Mimpi membuat kita hidup, dan harapan membuat kita bangkit.”

       Ia hanya terdiam mendengar penjelasanku, terdapat banyak macam dugaan di dalam benakku terhadapnya.
       “Lalu, apa mimpimu?” tanya Ardi secara tiba-tiba.
       “Mimpiku?” jawabku reflek seraya memandang wajahnya dengan mendekatkan tatapanku.
       “Ya, apa mimpimu. Apa mimpimu Reza?” tanyanya dengan serius.
       “Aku ingin menjadi seorang pengusaha, pengusaha yang sukses,” jawabku memberi .kepastian.
       Ardi kembali diam saat aku menjawab pertanyaannya, begitu banyak hal yang menurutku terlalu membingungkan di dalam dirinya. Ia kemudian mengajakku keluar kamar dan melihat semesta yang begitu megahnya jika dilihat dari sini.
       Ketika kami sedang melihat keindahan semesta, ia tiba-tiba berkata kepadaku: “Mimpiku adalah mengelilingi dunia ini. Apakah aku bisa Za?” ucapnya menatapku dengan wajah yang penuh rajutan keputusasaan.
       “Tentu saja bisa. Yakinkan dirimu bahwa kamu bisa dan kamu akan dapati semua itu. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin asal kamu percaya,” tegasku membangkitkan kepercayaan diri Ardi.
       “Kamu benar, tapi aku masih saja ragu Za. Apalagi kalau mengingat tentang kedua orang tuaku,” ucapnya dengan suara mulai mengecil.

       Melihat wajahnya yang pudar, membuatku menjadi sedikit menaruh belas kasihan. Aku pun berimajinasi, bagaimana caranya agar ia dapat kembali semangat dan percaya.  Dalam waktu yang sama, tiba-tiba aku ingat akan pantai dimana ayahku sering mengajakku memancing dan bermain. Aku pun berinisiatif untuk pergi bersama Ardi.
       “Minggu depan, kamu ikut aku. Kita akan pergi kesuatu tempat,” ujarku kepadanya.
       “Kemana Za?” tanyanya padaku.
       “Sudah, lihat saja minggu depan,” jawabanku sepertinya membuat dia penasaran.
        “Kamu memang paling bisa membuatku memiliki rasa penasaran yang sangat dalam,” Ardi menyerutkan dahinya.
        Seminggu kemudian…

        Pagi-pagi sekali, aku mengendarai motor menjemput Ardi dan mengajaknya pergi. Setiba di sana, sesuai dugaanku Ardi terlihat sangat excited sekali.
        “Whoaaaa!!! Ini keren sekali Za, kamu tahu tempat diri dari siapa? Mengapa baru memberitahuku?” ujarnya padaku.
        “Biasa saja kali, aku tahu dari ayahku. Ia sering mengajakku kemari, di sini masih alami. Belum banyak masyarakat dan pengunjung yang mengetahui tempat ini. Jadi kita bisa bersantai dan  menikmati keindahannya dengan maksimal tanpa ada gangguan,” jelasku seraya memarkirkan motor dan membereskan barang-barang.
        “Oh begitu, ayahmu pintar juga ya mencari tempat yang bagus. Ya sudah, aku pergi dulu ya, Za? Aku ingin berfoto dan berkeliling melihat kelebihan pantai ini,” ujarnya yang kemudian berlalu dalam hitungan detik.

        Ketika Ardi berkeliling, aku memantapkan diri untuk beristirahat sejenak. Maklum saja, butuh waktu 3,5 jam untuk sampai ke tempat ini.
        Saat sudah 5 jam di sini, aku mengajaknya pulang. Agar tidak sampai di rumah terlalu malam. Dengan hati yang berat, Ardi pun merelakan dirinya pulang dengan syarat kami akan kemari lagi kapan-kapan.
        Keesokan harinya ketika aku di sekolah, Ardi menghampiriku. Kami mengobrol berdua.
        “Bagaimana aku bisa berkeliling dunia tapi mendapatkan banyak uang?” tanyanya padaku.
        Jujur saja, aku sangat terkejut mendengar dia bertanya seperti itu kepadaku. Aku pun bingung harus menjawab apa. Namun, seketika aku ingat akan liburanku bersama keluarga tahun lalu, rombongan tour kami menyewa guideuntuk memandu kami ke tempat wisata. Mungkin itu jawaban yang harus kukatakan kepada Ardi. Dia juga sangat mahir berbahasa inggris, jadi menurutku dia agak cocok untuk menjadi seorang tourguide.
      
“Mungkin kamu bisa menjadi seorang tourguide.Kamu bisa mendapatkan uang sekaligus berkeliling. Atau, kamu bisa menjadi artis.Hanya profesi itu yang aku tahu jika ingin berkeliling dunia namun bisa menghasilkan uang,” jelasku padanya.
        “Jadi tourguide dan jadi artist? Sepertinya profesi itu tidak cocok. Aku tidak pandai bicara, aku juga pemalu. Kamu tahu kan sikapku bagaimana?” jelasnya padaku.
        “Tidak ada yang instan Di. Kamu lihat artis-artis sekarang ini yang sedang mem-booming. Apakah kamu tahu mereka sejak kecil sudah memiliki bakat seperti itu? Banyak yang mengaku bahwa mereka “learning by doing”. Kamu bisa menjadi apa yang kamu mau, asal kamu berusaha dan percaya.”
        Mendengar ucapanku itu, sepertinya Ardi merasa lega sedikit. Namun, beberapa menit kemudian raut wajahnya kembali muram. Seperti ada sesuatu yang mengusiknya kembali. Aku pun menyuruhnya untuk bercerita.
       “Bagaimana aku harus meyakinkan kedua orang tuaku tentang hal ini?” tanyanya padaku.
       “Ya itu kembali lagi pada mimpimu. Jika kamu benar-benar menginginkannya, kamu kan tahu bagaimana caramu meyakinkan mereka,” aku mencoba sekali lagi memberi api semangat.
        Kemudian, aku menyarankannya untuk mengambil kuliah jurusan Sastra Inggris. Karena, ruang lingkup pekerjaannya sangat luas. Bisa menjadi seorang tourguide, Penerjemah, Jurnalist, Editor, Artist,dll. Ia pun setuju dengan saranku itu.
        “Terimakasih Za, saranmu sangat berguna untuk masa depanku,” ia memelukku.
        “Sama-sama Di,” ucapku sambil menepuk punggungnya.
        Setelah pulang sekolah, aku dan Ardi pulang bersama. Karena ada tugas kelompok, kami pun mengerjakan di rumahnya. Baru saja sampai, Ardi dipanggil oleh kedua orang tuanya. Mereka menunjukan beberapa brosur Universitas di luar negeri kepada Ardi.
       “Kamu tinggal pilih saja, Universitas mana yang kamu mau. Tapi tetap ya, jurusannya kamu harus mengambil Administrasi Bisnis. Kamu akan meneruskan perusahaan keluarga kita. Papa juga berniat ingin membukakan kamu cabang di luar kota ketika kamu lulus nanti,” ujar beliau kepada anaknya.
        Ardi mengambil brosur tersebut dan melihat-lihat, namun aku tau ia tidak memiliki hati untuk kuliah disalah satu universitas pun. Ia berkata kepada papanya: “Aku tidak mau kuliah di luar negeri, aku mau kuliah di sini saja. Di sini juga banyak universitas yang baik. Jadi tidak perlu kuliah diluar negeri,” ucapnya tegas.
        “Ya sudah, kalau kamu mau kuliah di Indonesia papa mama setuju-setuju saja,” jawab Mamanya yang tidak ingin memaksakan kehendak.
        “Tapi, aku tidak mau mengambil jurusan Administrasi Bisnis. Aku mau mengambil jurusan Sastra Inggris,” tambah Andy.
        Seperti yang ia duga, reaksi orangtuanya tidak menunjukan kesetujuan. Wajah mereka yang semula cerah berubah menjadi merah dan marah.
       “Kamu mau jadi apa kuliah sastra? Sastra itu tidak berguna Ardi!!!” Bentak beliau menggetarkan rasaku.
       “Aku ingin travelling dan mengelilingi dunia,” jawab Ardi pada kedua orang tuanya.
        Mendengar perkataan Ardi yang terlihat santai, emosi beliau semakin memuncak. Beliau menaruh tangan kanannya di atas kepala. Menunjukan bahwa beliau sangat pusing dengan sikap dan kelakuan Ardi. Sebagai teman bagi Ardi, dan orang lain bagi orangtuanya aku hanya bisa menyimak perselisihan mereka.
        “Terserah kamu saja!! Yang jelas papa tidak setuju,” beliau pergi meninggalkan Ardi dan istrinya.
        Setelah beliau pergi, mamanya kembali menasehati Ardi.
        “Coba kamu fikirkan baik-baik, masa depan kamu itu hanya kamu yang mampu melakukannya. Mama dan papa tidak bisa membantumu,” ucapnya menepuk bahu Ardi dan menyusul suaminya.

        Ardi terdiam kaku setelah kedua orang tuanya meninggalkannya, ia tidak tahu apakah ia benar dalam masalah ini. Aku mencoba memberikan nasihat kepadanya, karena dia adalah salah satu teman yang paling aku sayangi.
       “Kalau kamu merasa apa yang kamu lakukan ini benar dan sangat berguna bagi masa depanmu, lanjutkan! Yang menentukan masa depanmu adalah kamu, mereka hanya membimbingmu ke jalan yang lebih baik. Namun, jika kamu memiliki jalan yang lebih baik dari jalan yang mereka berikan, apa salahnya? Kamu hanya perlu sedikit waktu untuk meyakinkan mereka. Ada saatnya, orangtua akan mengerti dan membiarkan kita memilih jalan kita sendiri,” jelasku padanya
        Mendengar penjelasanku itu, aku melihat rasa ragu di wajah Ardi sedikit demi sedikit memudar.
        “Apa benar begitu Za? Tapi, aku takut menjadi anak durhaka,” ucapnya sedikit parau.
        “Anak durhaka itu berbeda Di, kalau anak durhaka itu semua anjuran orang tua ia tentang dan ia juga selalu menyakiti hati orangtuanya. Kamu kan tidak,” aku memberi pengarahan.
        “Oh, begitu ya? Kalau begini, hatiku menjadi sedikit lebih lega. Terima kasih Za untuk saranmu,”
        Aku hanya tersenyum membalas ucapan terima kasih darinya. Karena suasana di rumahnya sedang kacau, aku pun bergegas pulang dan menunda tugas kelompok kami esok hari.
        Kami sudah kelas 3 SMA sekarang. Tinggal 1 bulan lagi kami akan menghadapi Ujian Nasional. Aku dan Ardi mempersiapkan diri sebaik mungkin agar hasil yang kami peroleh memuaskan.
        Hari pengumuman kelulusan tiba. Aku bersama orang tuaku dan Ardi bersama orang tuanya merasakan perasaan haru yang begitu dalam. Kami lulus!!! Ya, kami lulus!!!
       “Kamu mau daftar kemana Di?” tanyaku padanya.
       “UNJ Za, kamu?
       “Orangtuamu setuju? Hmmm.. Aku tidak kuliah, aku mau kerja saja di lampung. Memulai semuanya dari awal, aku mau merintis menjadi seorang wirausahawan Di,”
       “Ayahku setuju jika nilai UN-ku memuaskan. Terlebih nilai bahasa inggrisku 9,40. Haahh? Ingin menjadi wirausahawan juga harus banyak pengetahuan, kamu harus kuliah Za,” nasihatnya padaku.
        Aku hanya tersenyum kecil saja padanya. Aku mengerti, anak seumuranku belum mengerti tentang dunia yang luas. Tapi, aku juga punya mimpi sama sepertinya yang sulit dimengerti orang lain.
       “Bisnis sulit jika hanya dipelajari dan tidak diimbangi dengan action,” tegasku padanya.
       “Tapi kan Ndy....,” ucapnya belum selesai langsung terpotong olehku.
       “Tapi apa? Susah? Sulit? Tidak mungkin? Aku sudah menjadikan keputusan ini sebagai jalan hidupku. Aku harap, kita tidak salah memilih jalan hidup. Dan saat bertemu nanti, kita mampu mengangkat kepala kita dan tersenyum lebar,” jelasku padanya.
        Hari ini adalah hari terakhir dimana aku bertemu dengan Ardi dan teman-teman sekolahku. Aku harap saat kami nanti bertemu, kami dapat sukses dalam tujuan hidup yang sudah kami pilih. Dunia nyata siap ku raih..!!
        Keesokan harinya, aku berpamitan kepada kedua orangtuaku. Hari ini juga aku merantau ke Lampung dan belajar banyak hal dengan pamanku. Tanpa sempat mengucapkan kata perpisahan dengan Ardi, aku pergi dengan berharap bisa menjadi seseorang nantinya.
       “Di, maaf aku tidak bisa berpamitan denganmu dengan tatap muka. Tapi, aku berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali. Dan di saat itu aku percaya kita sudah menjadi seseorangdi bidang yang kita geluti. Semangat!! J” itulah isi pesan yang aku kirim kepadanya.

        Beberapa bulan setelah aku di Lampung, Ardi mengirim pesan kepadaku bahwa dia sekarang sudah menjadi mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Aku sebagai sahabatnya sangat bahagia, karena harapannya sudah terwujud. Ia juga memberitahuku di waktu luangnya sebagai seorang mahasiswa selain ia bertravelling dengan komunitasnya, ia menjadi guru les privat. Aku hanya berharap, dia bisa menjadi seseorang yang ia impikan.
       Gaji ku sebagai seorang karyawan di Lampung hanya sebesar Rp 400.000. Ya walaupun kecil, tapi menurutku ini sudah menjadi awal yang baik. Aku belajar dari pamanku dan memulai dari awal.
       Setahun telah berlalu, Ardi sama sekali tidak ada kabar. Dan aku pun sulit sekali untuk menghubunginya. Dalam benakku, mungkin dia sekarang selalu sibuk sehingga nomornya tidak pernah aktif.
       Waktu demi waktu aku lalui, setelah beberapa tahun aku bekerja ternyata modalku untuk membuka usaha sudah cukup. Dari awal aku ingin sekali membuka usaha di bidang industry. Aku membuka usaha rumah tangga dengan mengolah bahan baku singkong menjadi beberapa jenis makanan.
       Aku mengkreasikan singkong dengan beberapa bahan lain supaya bisa menghasilkan makanan yang berkualitas dan baik bagi kesehatan masyarakat. Hasilnya adalah telur gabus singkong, keripik singkong warna warni dengan pewarna sayuran, dan nasi singkong fermentasi.
       Aku merintis dan menawarkan produk kelingkungan bersama dengan beberapa pegawaiku. Tidak disangka masyarakat sangat welcomedengan produk-produk yang kami tawarkan. Alhasil, dengan waktu yang relatif singkat, aku bisa mendapatkan laba yang sangat fantastis.
       Dengan sedikit keberanian dan pengetahuan yang kudapat lewat browsing aku mencoba menghasilkan produk dengan bahan baku kacang-kacangan. Aku membuat bolu kacang, rainbowcake kacang, dll.
       Seperti sebelumnya, produk kami ini juga digemari masyarakat. Kami hanya mengambil 10%  laba dari harga penjualan. Kami tidak ingin produk kami ini tidak bisa dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
       Dalam kurun waktu beberapa tahun, usaha rumah tangga kami ini sudah bisa menjadi perusahaan besar yang diperhatikan para investor. Kami juga sudah mengeskpor makanan kebeberapa Negara luar seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
       Investor pun sangat banyak yang ingin bergabung dengan perusahaan kami. Dengan sangat senang hati, kami menerima para investor tersebut supaya kami dapat memperbesar usaha dan produk-produk kami.
       Aku juga sudah berkeliling Indonesia untuk meninjau pasar yang memungkinkan bagi perusahaan kami untuk masuk. Dan memang jenis produk seperti produk kami ini banyak yang belum terjangkau di pedesaan dan beberapa pinggiran kota. Ini adalah peluang besar dan tanpa berlama-lama aku langsung menganjurkan para pegawai untuk meningkatkan kinerja mereka.
       Sampai pada suatu titik pencapaian, aku merasa semua ini sudah cukup. Aku butuh waktu istirahat dan berlibur. Aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah orang tuaku di Jakarta.
       Setiba di sana, aku kembali ingat akan masa-masa SMA. Dulu, aku suka berjalan dengan Ardi yang sekarang aku tidak tahu kabarnya. Aku pergi kesekolah SMAku dulu, ternyata sudah banyak sekali perubahan. Maklum saja, ini sudah 10 tahun berlalu sejak aku meninggalkan Jakarta dan merantau ke Lampung.
       Aku pergi mengunjungi rumah Ardi, ternyata rumah itu sudah dihuni orang lain. Aku bingung harus mencari sahabatku bagaimana. Aku bertanya pada penghuni rumah itu, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu. Aku kemudian pulang ke rumah dengan penuh rasa kecewa.
       Dalam perjalanan, sekretarisku menelepon bahwa ada istri investor di perusahaanku yang sedang operasi di Jakarta. Aku pun dianjurkan untuk pergi menjenguk sore ini juga. Walaupun agak sedikit malas karena kejadian hari ini. Tapi dengan terpaksa aku harus pergi demi menyenangkan hati investor.
       Aku pergi ke salah satu rumah sakit besar di Jakarta tanpa lupa membawa buah tangan. Ketika aku sedang berjalan di lobby, aku tak sengaja berpapasan dengan seorang pria muda yang sepertinya aku kenal. Selang beberapa detik aku berfikir, aku tersentak kaget dan menyadari bahwa itu mungkin Ardi. Aku pun memanggilnya: “Ardi!!!!”
        Pria muda itu pun menoleh kepadaku dengan wajah yang menunjukan rasa tak percaya.
       “Reza? Kamu Reza kan?” tanyanya padaku.
       “Iya, aku Reza,” ucapku bahagia dan kaget sekali. Kami pun langsung berpelukan, rasa haru menyelimuti hati kami berdua. Setelah 10 tahun kami tidak bertemu, akhirnya kami bertemu dengan situasi yang tak terduga. Mungkin, sang Pencipta memberiku jalan untuk menjenguk istri salah satu investor dengan hadiah bertemu Ardi.

       Ardi sudah berubah. Badannya yang dulu kurus dan bungkuk kini sudah berdiri tegap. Aku percaya saat ini dia sudah mencapai impiannya.
        “Kamu sedang apa di sini?” tanyanya.
       “Aku ingin menjenguk istri salah satu investor di perusahaanku. Kamu sendiri?” jelasku.
      “Cieee… Ceritanya sudah berhasil menjadi pengusaha nih? Hehehehe.. Aku sedang menemani istriku melahirkan. Kamu sudah menikah?” katanya.
        Aku sangat kaget mendengar Ardi sudah menikah, usia kami tidak berbeda jauh. Ah, dia ternyata selangkah lebih maju dariku.
       “Belum, pacar saja aku belum punya. Aku belum memikirkan hal itu. Wah selamat ya Di, anakmu laki-laki atau perempuan?” tanyaku.
       “Campuran… Hahahahaha… Perempuan Za. Masa? Ganteng begini kamu belum punya pacar? Hahaha..” ejeknya padaku.
       “Serius. Aku belum punya fikiran untuk itu. Oya, aku lupa ingin menjenguk istri investorku dulu. Ini nomor handphoneku. Nanti kamu hubungi aku ya?” ucapku seraya berlalu.
       Usai menjenguk istri investor, aku pun pulang ke rumah saudara. Saat aku sedang bersantai dan berkumpul dengan orang tua dan saudaraku, handphoneku berdering. Aku tidak mengenal nomornya, ketika aku angkat ternyata itu adalah Ardi. Dia mengajakku untuk pergi ke pantai yang pernah kami kunjungi 10 tahun lalu besok pagi. Aku pun mengiyakannya. Kami berjanji untuk bertemu di tempatku.
       Pagi-pagi sekali sekitar jam 6, klakson mobil meneriaki rumahku. Ketika kulihat, ternyata itu adalah Ardi. Aku pun pergi bersama dia.
       Setiba kami di sana, aku mulai memutar waktu seperti dulu. Keadaan sudah berbeda, sekarang pantai itu sudah dikunjungi turis domestic dan mancanegara.
       “Kamu sekarang sudah menjadi tourguide ya?” tanyaku padanya yang percaya bahwa sekarang dia mungkin menjadi tourguide karena aku tidak pernah melihat dia di TV.
       “Tidak. Aku sekarang bekerja sebagai penerjemah disalah satu penerbit terbesar di Indonesia dan juga sebagai penulis lepas,” jelasnya padaku.
       “Ha? Kamu dulu berkata ingin travelling keliling dunia. Mengapa kamu menjadi seorang penerjemah dan seorang penulis lepas?” tanyaku yang bingung dengan kehidupan dia sekarang.
       “Aku punya cara sendiri untuk bertravelling. Aku dan komunitasku sekarang menjadi guru sukarelawan untuk anak-anak pedalaman yang minim akan pengetahuan dan pendidikan. Setiap akhir pekan aku dan komunitasku pergi menjelajahi hutan dan jalan yang ekstrim untuk sampai ke tempat tujuan. Tanpa disadari, itu juga bisa dinamakan bertravelling,” katanya padaku.
       “Aku tidak menyangka kamu sudah sedewasa ini. Dulu, kamu belum mengerti apa itu definisi mimpi. Sekarang, sepertinya kamu sudah mengalahiku dalam hal social dan pengetahuan. Hahahahaha..” ujarku yang takjum dengan diri Ardi yang sekarang.
       “Hehehe.. Bisa saja kamu.. Mimpi itu… Apa yang aku rasakan dan jalani sekarang Za. Terimakasih sudah menuntunku ke jalan yang lebih baik. Aku sudah bisa melihat mimpi sekarang, mimpi yang benar-benar indah dan sangat kukagumi,” ucapnya padaku.
       “Aku setuju denganmu. Mimpi itu seperti sarapan di pagi hari. Kita akan mempunyai tenaga untuk melakukan segala sesuatu hari ini jika kita mengawali hari dengan sarapan. Begitu juga masalah kehidupan dan masa depan. Jika kita memiliki mimpi, masa depan itu akan terlihat walaupun  seperti titik hitam kecil pada selembar kertas.” jelasku padanya.
       “Omong-omong, kamu bergelut di bidang apa Za?” tanyanya tiba-tiba.
       “Makanan Di, mengapa?” tanyaku.
       “Pantas saja, bisa-bisanya kamu menyebut mimpi itu seperti sarapan pagi. Kamu mau promosi ya? Hahaha,” lagi-lagi dia mengejekku.
        Aku sungguh terkejut dia bisa berbicara seperti itu, berani sekali dia mengejekku.
        “Enak saja, tidak Di. Aku hanya mengeluarkan apa yang ada di fikiranku saat ini. Oya, aku akan menyumbangkan dana untuk pekerjaan sosialmu itu. Bisa digunakan untuk membeli buku atau apapun yang kamu perlukan,” ujarku padanya.
        “Terimakasih za, kamu memang temanku yang tiada duanya. Kami memang sedang mencari donatur, karena dana yang kami butuhkan sangat banyak. Jika hanya mengandalkan gaji kami, itu tidak cukup,” jelasnya padaku.
        Kami pun bermain bersama sambil menikmati matahari yang selalu terbit tanpa manusia meminta. Kami berharap, mimpi kami akan tetap hidup seperti matahari yang selalu ada tanpa kami panggil. Mimpi itu apa yang kami rasakan dan kami jalani saat ini. Semoga semua orang juga merasakannya….
        Jalan hidupku dan Ardi akan berjalan dengan semestinya, jika kami mengawali pagi dengan MIMPI..

 =============================SEKIAN================================

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun