Penulis: Anggun Azizah S.
Kelas: XI 2B
-------------------
Aku meraup menuju ujung tanah tak beraturan dan melambai di lingkup sebutir Cahaya, Cahaya yang bergemuruh melega sadar, ini seharusnya. Aku berlari tak beraturan, nafas tak beraturan, pandangan tak beraturan dengan sekucup cahaya tak beraturan, dan tujuan yang beraturan. Rubuh ku berlari menuju butiran jurang dan tubuhku berderai habis habisan, dihabisi sebiru laut mengalir menuju hilir dengan serpihan merahku hingga melebur menuju waktu tak berpenggal. Lambaian tangan meraih airku dan meraup ke sekujur wajahnya dan rindu ini mengikuti hingga memeluk sela sela wajah hingga masuk menuju darah yang tak bertuan. Aku menghabiskan waktu di sekujur raganya melihat beribu Cahaya terbit mengelilingi berbagai aura kecil penuh kebaikan.nyaman dengan hembus nafas keluar dengan tutur indah merajalela. Hingga ku tau pilu mu bersembunyi di Semak Semak tulang belulang dan mendinginkan segala rasa yang kau rangkai satu satu.
Kini ku merasuk menuju seluruh jiwa jiwa terkutuk nan suci di berbagai tubuh miliknya. Ku yakin kau kan sembuh segala pilu mu sembuh, segala letih yang berkobar terhenti dan beribu rupa tak di harap yang ingin kau singkir bungkam hingga titik tak beralas. Namun hinil, hilang tak bertuan, ku regah seluruh isi mangkuk tubuhmu hingga cercah tak bergeming lalu mengenas dan luruh hingga hilang, itu luka baru untukmu.
Kini berpijak, dengan air air tubuhku yang perlahan keluar melewati rongga rongga kulit dari ujung hingga bawah tubuhmu. Aku menghilang dari segala pilu mu namun naas nya aku kesulitan mengembalikan segala hal yang ku sihir untukmu. Sejuta pandang indahmu, beribu Cahaya rakit yang terbenam, ratusan belaian indah di balik segubuk mata, puluhan riuh indah pikuk menjejal insting, dan satu rasaku damba menjadikan cinta tak berpeluk. Airku hilang dari seprpihan katamu dan kini ku berdiam melebur, teresap, melebur hingga mengait baur Bersama puluhan pilu awan. Dan kini masih kini aku berjuang melayang menuju angkasa dengan segala doa untukmu. Semoga segala kesulitanku dalam kekacauan itu terbenahi dengan pintaian manis angin Lalang. Angin itu menjamu mu menjadi kan kau beribu kupu kupu indah dan menghampiri setiap kucup mimpi yang kau dambakan. Semoga angin Lalang memeluk kesucian panas mu yang meraga di lautan darah yang ku tanam untukmu dan menimbang jerit terucap dari golongan yang berenang mengitari ringisan pikir. Aku mengangkasa melihat mu terpuing angin dan mengirim beribu Cahaya sebagai tanda, 'aku ada disini' walau ku tau Cahaya ku tampak di miliaran tahun selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H