Mohon tunggu...
Gubuk Literasi SMAIS
Gubuk Literasi SMAIS Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Literasi SMA Islam Sabilillah Malang

Kumpulan siswa-siswi melek baca-tulis di SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School Sistem Pesantren. Berdiri sejak 1 Agustus 2018 dan telah meretaskan 80 buku solo maupun antologi ber-ISBN.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Red Scythe of Life

4 April 2024   11:52 Diperbarui: 4 April 2024   11:55 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Terima kasih, karena telah menemukanku. Aku akan membalasmu dengan mengambil nyawamu”.

            Dan begitu saja aku merasa tubuhku seketika menjadi ringan seperti angin. “Bukannya kamu bilang akan mengambil nyawaku?” Aku bertanya dengan polosnya kepada wanita tersebut. “Sudah, tuh Kamu terbang sekarang”. “Eh” dan tanpa kusadari AKU TERNYATA TERBANG!!! Bukannya orang-orang bilang kalau mati bakal sakit ya? Kok matiku seperti gak terasa apa-apa?

            “Mungkin kau bertanya-tanya tentang kenapa matimu tidak sakit seperti kata orang-orang? Sebenarnya Kamu tidak mati, aku tidak berniat mengambil nyawamu, aku meminjamnya. Oh ya, namaku Tifa dan aku adalah dewi kehidupan dan kematian.”

            “Untuk apa seorang dewi meminjam nyawaku?” Tanyaku pada Tifa.

            “Pertama, kau adalah orang yang menemukan sabit merahku ini. Kedua aku membutuhkan seorang asisten untuk membantuku dalam tugas ku. Kau mengira sabit ini untuk mengambil nyawa orang kan? Sebenarnya sabit ini bukan untuk mengambil nyawa, tetapi untuk memberikan nyawa kepada sebuah tubuh baru.” tukas Tifa sambil memberikan sabit merah yang serupa kepadaku

            “jadi apa yang perlu kulakukan?”. Aku mulai melihat bagian-bagian sabit tersebut secara saksama. “kau akan membantuku untuk memberikan nyawa kepada tubuh baru yang lahir”. Seketika aku tercengang, seorang siswi berumur 16 tahun yang hampir tidak punya apa-apa (hanya warisan dari orang tua) tiba-tiba menghilang dan menjadi asisten seorang dewi.

            Aku mulai membantu Tifa untuk memberikan nyawa kepada bayi-bayi yang baru saja lahir. Beberapa saat memang sedikit menyedihkan, sebuah nyawa yang akan diberikan kepada sebuah tubuh baru harus ditarik kembali padahal umur tubuh itu belum sampai 1 hari. Aku juga pernah ditugaskan untuk mengambil nyawa seorang kakek tua yang sudah sakit-sakitan di rumah sakit. Sangat kasihan rasanya, tapi memang itulah tugas yang diberikan padaku.

            Setelah 77 hari aku bekerja menjadi asisten Tifa ia berbicara padaku, “Terima kasih karena sudah menjadi asisten ku selama 77 hari. Tanpa kau sadari, sebenarnya, menjadi asistenku berarti membuat kontrak denganku dan sepertinya kamu tidak mengetahui hal itu. Kontrak kita sekarang sudah selesai, jadi kau bisa kembali ke tubuh asli mu yang ada di batang pohon beringin dan kembali ke rumahmu. Sekali lagi terima kasih untuk bantuanmu.” Kemudian tifa mengambil barang dari sakunya dan memberikannya padaku. Itu adalah kalung perak dengan gantungan sabit merah di ujungnya.

            Aku tak kuasa menahan tangis ku dan memeluk Tifa untuk terakhir kali. Aku berpamitan kepadanya dan kembali ke tubuh asliku, kemudian aku berjalan kembali ke rumah ku. Aku bercerita kepada pengasuhku tentang pengalamanku. Aku tak peduli mereka akan percaya atau tidak dengan itu. Tetapi, karena pengalaman itu, aku  melihat dunia dengan perspektif yang berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun