Mohon tunggu...
Gubuk Literasi SMAIS
Gubuk Literasi SMAIS Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Literasi SMA Islam Sabilillah Malang

Kumpulan siswa-siswi melek baca-tulis di SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School Sistem Pesantren. Berdiri sejak 1 Agustus 2018 dan telah meretaskan 80 buku solo maupun antologi ber-ISBN.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kacau

3 April 2024   12:54 Diperbarui: 3 April 2024   12:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penulis: M. Rizky R. Mursyid Pratama

Kelas: XII MIPA 1A

Suasana malam itu tidak seperti malam malam biasanya. Serangga malam seolah mendadak bisu memainkan instrumennya. Angin pun malas berhembus malam itu. Surau-surau yang awalnya sibuk melantunkan pujian untuk sang pencipta malam ini juga mendadak diam setelah sembahyang isya berakhir, yang tersisa hanyalah lolongan anjing yang entah darimana asalnya, lolongan itu seolah mengejek kita— Manusia yang hanya sibuk bertengkar, saling menjatuhkan.

“Negara ini kacau Eb.” Ucapku yang tengah duduk lesehan di teras rumah, di atas anyaman tikar yang terbuat dari rotan. Segelas kopi hitam juga turut menemaniku di malam yang dingin ini.

“Ya, ku tengok debat pemilu di TV semalam juga begitu, bukannya saling menunjukan visi misi mereka bertiga malah bertengkar seperti anak TK.” Sueb salah satu temanku yang juga tengah menemaniku, menatap langit malam yang sebenarnya mendung. Entahlah, apa yang kami lihat hanya gumpalan awan hitam yang tak kunjung menurunkan hujan.

Mulai pagi ini entah kenapa kepalaku mendadak dipenuhi berbagai hal, mulai dari tadi pagi aku melihat tiang tiang listrik di pinggir jalan yang sesak akan spanduk-spanduk partai. Lalu tadi siang saat aku baru saja pulang dari sawah. Mendadak di balai desa dipenuhi oleh warga yang nampaknya tidak sabaran menunggu sesuatu dan ternyata itu sembako. Tentu saja dengan semangat aku juga ikut menghampiri tempat itu, namun batal, langkahku terhenti setelah salah satu orang dengan kaos partai berseru mempromosikan calonnya. Astaga! Rupanya sembako itu hanyalah iming-imingan belaka.

Tak berhenti di situ, surau pun mereka jadikan tempat untuk menyebarkan propaganda, janji-janji omong kosong munafik, membuat tempat yang seharusnya digunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan malah menjadi tempat keributan antar warga.

“Lantas Kau mau apa Eb?” Sueb yang dari tadi bosan mendengarkan keluhanku nampak nya mulai kesal. Aku menyeruput gelas kopiku kemudian menatapnya.

“Kita harus melawan Eb, ini zaman demokrasi, kita tidak lagi hidup di tahun tujuh puluhan, kita bebas bersuara—

“Hentikan omong kosong kekanak-kanakanmu, kita rakyat kecil kawan, kita tak punya apa apa, makan pun kita masih mikir-mikir dan Kau malah sibuk berhalusinasi dengan ‘kebebasan bersuaramu itu’, ayolah.” Sueb yang nampaknya sudah kesal mendadak berdiri, ia menghabiskan kopi hitam nya hingga tegukan terakhir. Tandas, tak menyisakan apapun.

“Tak ada yang bisa dipercaya zaman ini, negara dipenuhi oleh politisi korup dan jahat. Sistem formal dan legal dunia juga korup, kapitalisme, demokrasi, itu cara jahat yang dilegalisasi. Apalagi soal demokrasi, itu adalah tipuan paling baik yang pernah ditemukan di muka bumi ini, jual saja konsep itu, masyarakat senang, menganggap itu adalah cara paling adil untuk memilih pemimpin padahal mereka tidak tahu mereka sedang ditipu habis-habisan.” Ucap Sueb yang kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun