Mohon tunggu...
G Tersiandini
G Tersiandini Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan guru di sekolah internasional

Mantan guru, penikmat kuliner dan senang bepergian.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengunjungi Kinahrejo Setahun setelah Erupsi Merapi

20 Juli 2014   04:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:51 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua pasti sudah tahu bahwa pada bulan Oktober 2010, gunung merapi meletus dan awan panas yang dihembuskan oleh gunung ini yang oleh khalayak sekitar dikenal dengan sebutan wedhus gembel telah memporak-porandakan desa-desa di lereng gunung tersebut, dan salah satunya adalah desa Kinahrejo.

Saya teringat ketika masih menjadi seorang mahasiswi di UGM, hampir setiap malam minggu, bersama beberapa teman kuliah yang juga pecinta alam, saya pergi ke Kinahrejo untukmenikmati suasana alam. Kami biasanya naik motor ke Kaliurang, kemudian motor kami parkir di sana dan kami mulai berjalan menuju desa Kinahrejo. Di sana, biasanya kami menginap di rumah Mbah Marijan. Rumah itu selalu dipenuhi oleh para pecinta alam yang akan naik ke Merapi atau hanya sekedar ingin menyepi dari keramaian kota di desa itu saja. Tidak jauh dari rumah Mbah Marijan, terdapat sebuah lapangan luas yang disebut Bebeng dan biasanya digunakan untuk “camping”.

Pada tahun 2011 ketika saya berkunjung ke Yogyakarta bersama beberapa teman, kami ingin melihat bagaimana keadaan Kinahrejo setelah erupsi Merapi. Jam 5 pagi dengan mengendarai mobil kami berangkat dari tempat kami menginap di Jl. Kaliurang. Karena masih pagi, kami tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di kawasan Kinahrejo tersebut. Sebelum memasuki kawasan itu kami dihentikan oleh seseorang yang mengendarai sepeda motor yang mengatakan bahwa kami harus membayar ongkos masuk. Kami pun membayarnya dan pengendara motor tersebut menawarkan diri untuk menjadi pemandu kami.

Dengan dipandu oleh pengendara motor tersebut, kami dibawa menuju rumah Mbah Marijan, yang tentu saja sudah rata dengan tanah. Kawasan tersebut sudah tertutup pasir vulkanik. Walaupun ketika itu hari masih gelap, kami dapat melihat ada sebuah mobil yang sudah rusak dan motor yang hangus sebagai peringatan akan kekejaman awan panas Merapi. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah spanduk yang berbunyi bahwa dulu di situ berdiri rumah Mbah Marijan.

[caption id="attachment_348640" align="aligncenter" width="567" caption="Sunrise di Kinahrejo"][/caption]

[caption id="attachment_348641" align="aligncenter" width="567" caption="Lokasi rumah Mbah Marijan"]

1405778650353512733
1405778650353512733
[/caption]

Dari sana pemandu menunjukkan jalan yang biasa dilalui oleh para pendaki ketika mendaki Merapi. Dia mengatakan jalan tersebut menuju Pasar Bubrah. Semua sudah penuh dengan timbunan pasir. Di sebelah kiri dan kanan dulu terdapat rumah-rumah penduduk yang sudah tidak berbentuk lagi. Ngeri juga membayangkan apa yang terjadi pada tahun 2010 tersebut. Di belakang kami Merapi terlihat masih tertutup kabut. Kami berharap kabut tersebut dapat segera pergi sehingga kami dapat melihat keutuhan Merapi.

[caption id="attachment_348642" align="aligncenter" width="567" caption="Merapi tertutup kabut"]

14057787711846756027
14057787711846756027
[/caption]

Saya kemudian berjalan menuju Bebeng, dan lapangan hijau yang dulu biasa digunakan sebagai tempat “camping” sudah penuh dengan pasir dan bebatuan tajam. Di latar belakang terlihat gunung Merapi berdiri dengan sombongnya. Merinding juga berdiri di situ seorang diri karena teman-teman saya tidak ikut bersama saya saat saya menuju Bebeng. Ketika penulis memutuskan untuk kembali ke tempat di mana mobil kami diparkir, dua orang teman penulis datang mendekat. Senang sekali rasanya ada yang menemani di tempat itu.

[caption id="attachment_348643" align="aligncenter" width="496" caption="Bebeng"]

14057789621578513018
14057789621578513018
[/caption]

Setelah melihat-lihat keadaan sekitar, penulis kembali ke tempat di mana mobil kami berada. Dari situ terlihat Merapi yang sudah tidak tertutup kabut. Indah sekali. Di sekitar terlihat pohon-pohon yang sudah hangus dan rubuh. Namun nampak pula tanaman-tanaman baru yang sudah mulai tumbuh dan rerumputan hijau sudah mulai meninggi. Langit yang cerah menambah keindahan pemandangan di sekitar situ.

[caption id="attachment_348645" align="aligncenter" width="425" caption="Rumput yang mulai meninggi dan pencari kayu"]

14057790921348224407
14057790921348224407
[/caption]

[caption id="attachment_348647" align="aligncenter" width="496" caption="Keindahan Merapi"]

1405779208744806222
1405779208744806222
[/caption]

Ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, warung-warung yang berada di sekitar sudah mulai buka dan nampak beberapa pengunjung mulai berdatangan. Ternyata kami adalah satu-satunya pengunjung yang diperbolehkan menaiki mobil sampai ke atas, sementara pengunjung-pengunjung lain harus memarkir mobilnya di bawah di area parkir dan para pengunjung tersebut harus berjalan ke atas. Mungkin karena kami datang terlalu pagi maka kami mendapat perlakuan khusus tersebut. Entahlah.

Setelah puas menikmati keindahan Merapi dan melihat akibat dari letusannya, kami pun kembali ke tempat penginapan untuk membersihkan diri dan bersiap untuk pergi ke tempat lain di Yogyakarta.

sumber foto: pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun