Karena ada keperluan, awal minggu kedua Februari 2016 ini saya pulang ke kampung halaman, di Brontokusuman, Yogyakarta. Dari Bekasi, saya menggunakan bus dengan alasan praktis. Saya tak perlu ke Gambir atau Pasar Senen, stasiun pemberangkatan kereta api.
Saya sebetulnya berharap bus melewati tol Cipali. Tapi tak tahunya masih setia menyusuri jalur lama. Pantura! Saya sempat bertanya, gerangan apa bus getol mempertahankan jalur tradisional yang tentu lebih jauh dan boros solar. Pertanyaan saya segera terjawab, sekitar 3/4 jam selepas tol Cikampek, bus mengisi solar.
Rupanya perusahaan bus ini, telah melakukan perluasan usaha dengan mendirikan stasiun pengisian BBM, lengkap dengan tempat istirahat, deretan kios, pasar swalayan, dan ATM. Â Daripada uang solar lari ke tempat lain, perusahaan mewajibkan armada bus nya membelanjakan ke perusahaan yang masih dalam satu grup.
Sejam dari sini, bus kembali menepi di jalur pantura, memberi kesempatan penumpang makan malam. Lagi-lagi, bus masuk ke kompleks rumah makan super besar yang masih satu grup dengan perusahaan tersebut.
Apa yang dilakukan oleh bus dan grup perusahaan tersebut, saya lihat semata-mata demi mempertahankan kelangsungan usaha. Setelah Tol Cipali rampung, nyaris hanya truk, mini bus, dan sedikit kendaraan pribadi yang melewati jalan ini. Alhasil beberapa stasiun pengisian BBM tutup. Yang lebih tragis adalah cukup banyak warung dan rumah makan yang menutup rapat pintu. Pertanda larinya pelangan dan konsumen setia.
Gemerlap jalur pantura seketika meredup setelah Cipali mulai berdegup. Bangunan dengan tulisan DIJUAL bertebaran. Kalaupun tidak dijual, dibiarkan terbengkalai. Suasana suram jelas terasa. Sementara jalan berlubang, terutama di sisi kanan banyak dibiarkan mengangga. Bus dengan ukuran ban yang besar pun mesti berhati-hati.
Jalur Pantura seolah ditelantarkan. Padahal bagi sebagian truk pengangkut barang, Pantura tetaplah jadi jalur utama. Saya sempat merenung, berapa banyak orang yang kini kehilangan pekerjaaan berbarengan dengan surutnya pamor Pantura. Kemana saja mereka? Sudahkan mereka mendapatkan pengganti pekerjaan?
Kini 4 bulan sebelum lebaran tiba, tanda-tanda jalur ini dibenahi belum tampak. Saya khawatir, perbaikan bakal mepet di hari H. Selain tidak optimal, cara seperti itu juga bakal menambah kemacetan.
Padahal meski Cipali sudah beroperasi, semestinya Pantura tidak dibiarkan merana. Dan tetap menjadi jalur cadangan bila sewaktu-waktu Cipali tak mampu menampung luberan arus.
Bukankah begitu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI