“Rome wasn’t built in a day”. Ungkapan ini mengingatkan siapa saja, untuk mengerjakan hal-hal besar butuh usaha dan waktu. Kekuatan, stamina, dan konsistensi menjadi kunci.
Tak ada jalan pintas untuk merogoh kesuksesan. Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew (1965 – 1990), butuh waktu 25 tahun untuk membalikkan keadaan. Dari sebuah negara kecil berhutan bakau yang tidak diperhitungkan menjadi bangsa maju dengan pendapatan per kapita setara Amerika Serikat.
Keajaiban Singapura lantas dipakai sebagai role model bagi para pemimpin dunia, bagaimana sebuah kepemimpinan yang visioner, berani, dan berorientasi pada perubahan mengantarkan negeri Singa ini sejajar dengan negara-negara maju. “Barangkali tak ada satu bangsa pun di dunia yang mencapai kemajuan pesat seperti Singapura dalam satu generasi,” ungkap beberapa pemimpin dunia memuji kemajuan Singapura.
Dalam skala lokal, salah satu contoh pemimpin berani dan visioner itu ada pada Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (2009 – 2013) yang lantas terpilih kembali sebelum akhirnya dicomot oleh Presiden Jokowi menjadi menteri perhubungan pada 26 Oktober 2014. Karena keberhasilannya membenahi PT KAI dari BUMN yang rugi dan “jorok” menjadi BUMN yang menguntungkan dan “wangi”.
Tak pernah berkarier di bidang bisnis transportasi, Jonan sukses membalikkan kerugian Rp 83,5 miliar pada 2008 menjadi keuntungan Rp 154,8 miliar pada 2009. Pada tahun 2013, bahkan telah mencatatkan laba Rp 560,4 miliar. Jonan juga melipatgandakan aset KAI dari Rp 5,7 triliun pada 2008, menjadi Rp 15,2 triliun pada 2013. Pada masanya juga memberangus percaloan tiket, dengan menerapkan sistem boarding pass, tiket daring, dan penjualan melalui toko ritel. Toilet stasiun yang awalnya harus membayar, digratiskan dan diperbanyak jumlahnya. Kereta juga dilengkapi AC, penumpang tak boleh berdiri, dan larangan merokok.
Jalan sunyi Jokowi
Memasuki setahun pemerintahannya, 20 Oktober 2015, Jokowi dikritik habis-habisan. Dianggap tidak mampu, gagal, tidak kompeten. Bayangkan, negeri yang sudah lama didera dengan berbagai persoalan penegakan hukum, kesejahteraan, ketidakadilan ini minta dibereskan dalam satu tahun oleh para pengkritiknya. Barangkali hanya di negeri ini, orang doyan memberi target pencapaian. Belum apa-apa sudah diminta memberi bukti. Baru hangat-hangat dilantik jadi presiden, eh 3 hari kemudian publik gerah, kok kabinet belum dibentuk. Pun ketika memasuki 100 hari pemerintahan, dibilang penegakan hukum nol. Budaya instan, jalan pintas, terabas rupanya menjadi hobi sebagian orang. Sebuah budaya yang (maaf) mencerminkan kemalasan dan mengemohi kerja keras. Budaya penghambat kemajuan. Kini memasuki usia setahun dari lima tahun pemerintahannya tuntutan pencapaian unjuk kerja makin masif.
Jokowi, alumnus Fakultas Kehutanan UGM, orang biasa yang dibesarkan di bantaran kali Sungai Bengawan Solo ini memilih jalan sunyi, namun berani dan visioner. Ia membenahi hal-hal dasar, mengurai satu per satu persoalan yang terabai bertahun-tahun. Soal pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan yang ia percaya sebagai pondasi kemajuan bangsa.
Di awal-awal pemerintahannya persoalan sudah menghadang. Ia mewarisi anggaran belanja negara (APBN), yang kurang memihak pada pembenahan hal-hal dasar tersebut. APBN habis untuk memenuhi belanja rutin. Ibarat ekonomi rumah tangga yang pendapatannya dikuras untuk konsumsi, tanpa menyisakan tabungan buat investasi.