Mohon tunggu...
gustav susanto
gustav susanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Saya memiliki minat tinggi dalam hal militer dan ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Laut China Selatan dan Ancaman Bagi Indonesia dari Segi Pertahanan dan Ekonomi

30 Mei 2024   17:51 Diperbarui: 30 Mei 2024   18:10 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2019, terdapat kasus illegal fishing di perairan Indonesia khususnya di Pulau Natuna. Insiden ini kemudian di ekskalasi ketika pada tahun 2021 kapal perang Tiongkok menerobos perbatasan laut Natuna. Adanya ekskalasi ini merupakan pertanda bahwa Replubik Rakyat China (RRC) mulai memperluas pengaruhnya terutama di laut Natuna Utara. Konflik yang dilakukan oleh China ini tidak hanya mengancam kedaulatan Indonesia namun juga dapat menimbulkan permasalahan sosial ekonomi apabila Indonesia tidak mulai mengambil langkah yang dapat memberikan efek jera bagi angkatan laut China.

Berikut adalah penampakan kapal angkatan laut China yang menerobos perairan Natuna dan mengintimidasi nelayan. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah jenis kapal yang digunakan. Tipe kapal memiliki lebar 15 meter dan panjang 99 meter (vesseltracker, 2024). Tidak banyak hal diketahui mengenai jenis kapal ini, namun berdasarkan gambar yang didapatkan kapal ini merupakan kapal kelas Shucha II WPS (AMTI, 2017) dengan kemampuan jarak patroli sebesar 22.521 km (Military Factory, 2016). 

Umumnya kapal jenis ini akan berpatroli di sekitar perairan Laut China Selatan dan mengintimidasi nelayan dari negara tetangga seperti Filipina, Vietnam dan lain sebagainya namun perkembangan kapal ini menerobos perairan Indonesia terutama pada tahun 2021 hingga 2022 menunjukan terdapat perkembangan baru dalam upaya RRC memperluas klaimnya di Laut China Selatan.

Latar Belakang

Konflik di Laut China Selatan terjadi diakibatkan dari adanya klaim tumpang tindih antara negara di Laut China Selatan. Negara yang mengklaim Laut China Selatan adalah Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei (Britannica, 2024). Sementara itu klaim RRC terhadap Laut China Selatan disebut sebagai 9 dash line. 

Luas daerah Laut China Selatan dapat dilihat pada gambar dibawah. Gambar dibawah juga menjelaskan mengenai berbagai negara yang memiliki permasalahan dengan klaim RRC dikarenakan sesuai dengan ketentuan perairan internasional yang terterang di UNCLOS menjelaskan bahwa terdapat hak negara untuk memiliki zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mile atau sekitar 370 km dan 12 mile atau 22 kilometer untuk laut teritorial (Inquirer.net, 2014). Sehingga berdasarkan hal ini terdapat klaim yang tumpang tindih di wilayah Laut China Selatan.

IGambar 2 Gambar 9 dash line. Sumber : Gupta, 2015 chinausfocus.com
IGambar 2 Gambar 9 dash line. Sumber : Gupta, 2015 chinausfocus.com

Namun meskipun adanya keputusan tersebut, RRC tetap melanjutkan klaimnya atas Laut China Selatan dan semakin meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut. Salah satu insiden berdarah yaitu pada tahun 1974 RRC menginvasi kepulauan Paracel yang pada masa itu masih berada di bawah kendali Vietnam Selatan, akan tetapi hal ini tidak menghentikan perluasan invasi RRC dan pada tahun 1988 juga mengambil Johnshon reef atau batuan dari Vietnam. Hal ini menunjukan bahwa RRC terbukti agresif dalam mengklaim Laut China Selatan (Britanica, 2024).

Gambar 3 Batuan Johnson Setelah di militerisasi oleh RRC, sumber : AMTI, 2017 China Tracker | Asia Maritime Transparency Initiative (csis.org) 
Gambar 3 Batuan Johnson Setelah di militerisasi oleh RRC, sumber : AMTI, 2017 China Tracker | Asia Maritime Transparency Initiative (csis.org) 
Selain melalui cara-cara militer cara lain yang digunakan oleh RRC adalah dengan membiarkan dan bahkan melindungi aksi illegal fishing oleh nelayan RRC di perairan negara lain (britanica, 2024). Dengan kapal-kapal RRC terindikasi melakukan illegal fishing dan sebanyak 86 kasus telah tercatat (Environtment Justice Foundation, 2024).

Strategi RRC di LCS

  • Pembangunan Infrastruktur Militer di Kepulauan Spratly

Strategi dari RRC adalah untuk menetapkan militerisasi diseluruh Kepulauan Spratly. Pembangunan di Kepulauan Spratly mencakup pembangunan instalasi militer seperti pusat logistik, bandara militer, pertahanan termasuk SAM (surface to air missile). Berbagai foto-foto pembangunan instalasi militer ini dapat dikonfimasi melalui gambaran satelit yang didapatkan.

Gambar 4 Gambar pulau Fiery dan Hughessumber : CSIS AMTI, 2017 China Tracker | Asia Maritime Transparency Initiative (csis.org) 
Gambar 4 Gambar pulau Fiery dan Hughessumber : CSIS AMTI, 2017 China Tracker | Asia Maritime Transparency Initiative (csis.org) 
Berdasarkan gambar dibawah dapat dilihat bahwa berbagai pulau yang dibangun memiliki kapasitas basis militer, dengan kemampuan bandara serta pelabuhan dasar untuk keperluan transportasi logistik di berbagai pulau tersebut. Adanya hal ini memungkinkan angkatan laut RRC untuk dapat beroperasi di Kepualuan Spratly dengan jangka waktu yang lebih lama tanpa harus kembali ke daratan utama Tiongkok. 

Namun hal yang perlu diperhatikan kembali adalah panjang jalur bandara yang telah dibangun di kepulaun Fiery. Berdasarkan estimasi yang dilakukan di Google Maps menunjukan panjang landasan bandara tersebut adalah sekitar 3 km.  Berdasarkan kemampuan bandara ini memungkinkan kepulauan ini menjadi bandara militer terdepan, adanya bandara yang panjang ini memungkinkan transportasi dilakukan dengan pesawat kargo yang lebih berat.

Apabila kita melihat kepemilikan pesawat RRC dari segi transportasi, RRC memiliki berbagai jenis pesawat kargo seperti Xi'an Y-20 dan shaanxi Y-9 yang membutuhkan jarak take off setidaknya sepanjang 700 m -- 1,2 km sehingga penambahan panjang landasan ini dapat menjadi indikasi bahwa bandara ini akan dioperasikan untuk berbagai pesawat sehingga diperlukan tempat untuk parkir pesawat.

 Sehingga prospek agar terdapat pesawat lain selain pesawat kargo menjadi lebih besar hal tersebut bisa dari pesawat jet dan bahkan pesawat bombardir. Penggunaan lapangan udara ini untuk pendaratan pesawat bombardir lebih memungkinkan. Dikarenakan pesawat seperti Xi'an H-6 salah satu pesawat bombardir RRC memerlukan jarak lepas landas sepanjang 2,1 km (aerocorner, 2024). 

Sehingga apabila menggunakan asumsi tersebut maka dapat dibuat sebuah analisa jarak kemampuan pesawat dari RRC di sekeliling LCS. Dengan asumsi bahwa Xian H-6 mampu terbang dengan jarak 4.800 km (The National Interest, 2023). Dengan adanya kemampuan tersebut maka setidaknya jarak tempuh bomber strategis RRC tersebut dapat menjangkau berbagai negara seperti Filipina, Malaysia, dan bahkan Indonesia dengan target dapat mencapai Jakarta.

Gambar 5 Jarak Kemampuan bomber strategis RRC sumber: Analisa Penulis  
Gambar 5 Jarak Kemampuan bomber strategis RRC sumber: Analisa Penulis  

Hal ini makin diperparah dengan infrastruktur lainnya yang dibangun oleh RRC. Hal ini mencakup misil anti kapal, misil jarak menengah, dan bandara untuk jet tempur. Apabila dilihat kembali maka RRC ketika terjadi suatu konflik akan berusaha untuk mendapatkan supremasi udara dalam waktu singkat di sekitar laut LCS, hal tersebut dapat diraih dengan kemampuan angkatan udaranya yang berbasis di Kepulauan Woody dan kemungkinan di Kepulauan Fiery akan melindungi seluruh wilayah 9 dash line atau wilayah yang diklaim RRC di LCS. Dengan asumsi perlindungan tersebut akan diakomodasi dengan pesawat jet Shenyang J-11 dan J-16 dua pesawat yang menjadi mayoritas di persenjataan angkatan udara RRC dengan kemampuan jarak mencapai 3.000 km. Sehingga kemampuan dari pesawat RRC apabila digabungkan akan menjadi seperti berikut.

Gambar 6 Jarak penerbangan pesawat bomber strategis dan jet RRCsumber : analisa penulis dan (AMTI, 2024) 
Gambar 6 Jarak penerbangan pesawat bomber strategis dan jet RRCsumber : analisa penulis dan (AMTI, 2024) 

Berdasarkan analisa independen penulis dapat dilihat juga bahwa perkiraan jarak penerbangan pesawat RRC tidak jauh berbeda dengan hasil riset yang dikeluarkan oleh Asia Maritime Transparency Initiative. Hal ini menunjukan bahwa RRC dengan kemampuan militer yang dimiliki akan dengan mudah memiliki supremasi udara terutama dengan jumlah jet tempur multirole yang dimilikinya seperti J-16 dan J-11. 

Hal inilah yang menyebabkan RRC berani melakukan tindakan agresif di perairan internasional serta di perairan negara lain dikarenakan tidak adanya oposisi yang kuat untuk menentang kemampuan RRC di LCS baik dari segi angkatan laut maupun udara. Hal ini juga diperkuat dengan tekanan politik yang diberikan oleh RRC dengan menempatkan "ancaman" melalui kemampuan bomber strategisnya serta kemampuan misil lainnya, yang dapat menyerang berbagai infrastruktur penting dan ibukota negara lain dalam waktu singkat.

  • Strategi Konfrontasi dengan Negara Tetangga di LCS

Meskipun RRC dalam menerapkan konfrontasinya di LCS tidak melalui invasi seperti yang terjadi pada tahun 1974 di Kepulauan Paracel dan 1988 Johnson Reef namun taktik RRC masih tetap agresif dalam melakukan konfrontasi tersebut. Strategi yang digunakan oleh RRC adalah menggunakan strategi kol atau cabbage strategy. 

Strategi ini melibatkan berbagai unsur dari kekuatan RRC. Diantara lain adalah angkatan laut RRC, nelayan RRC, dan milisi RRC, dari ketiga elemen ini angkatan laut cina bersama elemen pendukungnya akan melakukan blokade terhadap pulau yang ditarget oleh RRC dan tidak membiarkan apapun untuk masuk atau keluar dari pulau tersebut (Institute for maritime and ocean affairs, 2019).

Salah satu penerapan strategi kol dapat dilihat pada konfrontasi antara RRC dan Filipina di Gosong Scarborough. Di tempat ini RRC melakukan blokade  terhadap Gosong tersebut dengan angkatan laut RRC dan nelayan menghentikan berbagai bantuan dari Filipina terhadap Gosong tersebut sekaligus memasang buoy sebagai salah satu bagian blokade RRC terhadap Gosong tersebut, sebelum akhirnya blokade buoy tersebut dipotong oleh marinir Filipina dan ketegangan antara RRC dan Filipina masih berlanjut (Petty, 2023).

 Adanya blokade tersebut memiliki tujuan untuk mengambil wilayah yang dikontestasikan secara perlahan dengan angkatan lautnya serta membangun berbagai pulau buatan sebelum akhirnya secara final akan menduduki area yang diperebutkan (Iaspoint, 2023). Berkaca dari hal tersebut maka berbagai intrusi yang dilakukan oleh angkatan laut RRC terhadap kedaulatan perairan di Indonesia terutama di Kepulauan Natuna merupakan salah satu penerapan strategi kol oleh RRC terhadap Indonesia. 

Dan hanya akan menunggu waktu sebelum blokade yang diterapkan di Kepulauan Natuna akan menjadi lebih sering dalam hal frekuensi dan hal tersebut dapat terjadi ketika RRC telah mengkonsolidasi klaimnya di perairan Filipina dan Vietnam. Berkaca dari kasus yang terjadi di Ukraina dan Rusia konfrontasi seperti ini bisa menjadi lebih meluas dan membuat konflik dalam skala lebih besar dan bahkan dapat berupa invasi seperti pada Kepulauan Paracel dan Johnson Reef.

  • Ancaman RRC terhadap Indonesia

Ancaman RRC terhadap kedaulatan Indonesia dapat diidentifikasi menjadi dua jenis ancaman, yaitu pertama adalah ancaman secara ekonomi dan kedua adalah ancaman secara keamanan. Apabila dilihat dari segi ekonomi, Indonesia telah kehilangan mencapai 26 juta ton ikan atau senilai 23 milliar dollar AS. 

Hal tersebut terjadi diakibatkan adanya aktivitas illegal fishing yang terjadi, angka tersebut merupakan angka yang tinggi mengingat jumlah produksi ikan di Indonesia hanya 24 juta ton ikan (Kumparanbisnis, 2023). Aktivitas illegal fishing ini tidak dilakukan oleh nelayan RRC saja namun juga negara lain seperti Vietnam dan lain sebagainya yang memancing di Indonesia dikarenakan aktivitas patroli RRC di LCS yang mengakibatkan lebih banyak nelayan pergi ke negara lain.

Selanjutnya dari segi pertahanan, sering kali kapal laut patroli RRC menembus perbatasan laut Indonesia untuk menggangu aktivitas nelayan Indonesia di Natuna (Sahputra & Wibowo, 2022). Hal ini serupa dengan apa yang terjadi di Filipina dengan kapal patroli RRC akan menggangu nelayan Filipina di LCS serta mendatangkan berbagai nelayan RRC untuk melakukan aktivitas ilegal di wilayah tersebut. 

Tidak hanya dalam hal penembusan perbatasan saja namun apabila dilihat secara peta keberadaan wilayah Natuna sangat dekat dengan pangkalan militer RRC di LCS yang mengakibatkan Natuna berada di bawah jangkauan berbagai instrumen peperangan RRC seperti jet tempur, misil, dan lain sebagainya sehingga apabila terjadi invasi seperti pada kejadian di Kepulauan Paracel dan Johnson Reef , Indonesia akan memiliki waktu yang cukup susah untuk melindungi kepulauan Natuna. Sehingga diperlukan solusi yang komprehensif untuk menetralisir hal tersebut.

Rekomendasi Kebijakan di Kepulauan Natuna

Bagi penulis strategi Indonesia di Kepulauan Natuna harus bersifat mutlak, dalam arti lain perlindungan terhadap Natuna harus diprioritaskan, hal ini dapat diraih dengan memperkuat pertahanan maritim dengan mengerahkan lebih banyak kapal patroli untuk melindungi adanya penyusupan. 

Namun bagi penulis diperlukan setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan di Kepulauan Natuna dengan memperhatikan kondisi peperangan di berbagai teater peperangan lainnya. Adanya peperangan Rusia dan Ukraina setidaknya menunjukan kepada dunia dua hal. 

Pertama adalah peperangan dalam skala besar umumnya masih bisa terjadi sehingga setiap negara seharusnya memiliki persiapan masing-masing apabila terjadi peperangan, kedua adalah efektivitas dari teknologi drone, dengan biaya yang murah serta dilengkapi dengan hulu ledak yang cukup mampu menghentikan peralatan militer yang bernilai lebih tinggi. 

Adanya efektivitas ini seharusnya dapat menjadi peluang maupun ancaman bagi Indonesia. Mengingat kapasitas industri pertahanan Indonesia lebih kecil dengan RRC dan akan mencapai nilai sebesar 257 milyar dollar AS pada tahun 2026 (business wire, 2022).

Adanya hal tersebut menunjukan kapasitas produksi militer RRC sangat besar dan akan mampu berperang dalam jangka panjang (attrition warfare). Sehingga investasi yang juga perlu dilakukan Indonesia selain dengan peralatan militer bernilai tinggi seperti akuisisi Rafael pada tahun 2024 juga perlu berinvestasi pada peralatan militer yang memungkinkan terjadinya peperangan secara asimetris (asymmetric) atau peralatan militer yang memungkinkan Indonesia untuk bertempur dengan baik sekalipun adanya disparitas kekuatan yang besar. 

Salah satu teknologi tersebut adalah drone dan dalam kasus ini SAM (surface to air missile), dan SSM (surface to surface missile). Sebenarnya Indonesia telah memiliki beberapa sistem pertahanan udara seperti Nasams akan tetapi berdasarkan informasi yang didapatkan penulis mayoritas dari sistem ini berada di ibukota sehingga investasi yang lebih diperlukan untuk melindungi kepulauan Natuna dan instalasi militer seperti lapangan udara yang juga ada di Kepulauan Natuna, selain itu Indonesia juga perlu berinvestasi lebih terhadap anti ship missile sebuah sistem SSM yang dapat ditembak dari daratan dan mentarget secara spesifik terhadap kapal. 

Salah satu produk RRC di bidang ini yang dapat dijadikan contoh adalah YJ-62 yang memiliki jarak tembak hingga 400 km. Adanya persenjataan tersebut di inventaris TNI akan memberikan TNI kemanan lebih ketika harus melakukan peperangan dengan RRC. Bahkan adanya inventaris persenjataan jarak panjang yang dapat mengancam kapal RRC dari jarak jauh akan memberikan efek jera bagi RRC untuk melakukan invasi ke Kepulauan Natuna.

              Gambar 7 Penampakan YJ-62                          sumber: chinesemilitaryreview, 2013
              Gambar 7 Penampakan YJ-62                          sumber: chinesemilitaryreview, 2013

Selain perlindungan dari sisi penggunaan misil Indonesia juga perlu mengintegrasikan penggunaan drone serta pelatihan bagi TNI dalam memanfaatkan drone kedepannya. Salah satu penggunaan yang cukup populer di peperangan Rusia dan Ukraina adalah penggunaan Lancet dan Shahed. 

Dua drone kamikaze yang sering di gunakan oleh Rusia dalam melakukan perangnya di Ukraina. Sehingga apabila Indonesia mampu mengembangkan keahlian serta peralatan seperti Lancet dengan kemampuan jarak hingga 40km dan ketahanan baterai hingga 40 menit ( Global Military news, 2024), tidak hanya dengan kedua drone tersebut, Indonesia juga bisa menggunakan drone yang tersedia di pasar pada saat ini dan memodifikasi drone tersebut untuk bisa menjatuhkan granat ataupun memasangkan bom untuk digunakan seperti dengan drone kamikaze, dengan keberadaan keahlian penggunaan drone yang tepat maka kemampuan peperangan asimetris Indonesia akan jauh lebih baik.

            Sementara untuk memerangi adanya penyusupan oleh kapal-kapal RRC dan nelayan dari berbagai daerah, Indonesia dapat melihat dari cara penjaga pantai AS dalam memerangi narkotika untuk masuk ke dalam Amerika Serikat. Dalam memerangi tindakan tersebut AS menggunakan teknologi drone yang di integrasikan dengan sistem teknologi informasi untuk mendeteksi adanya terobosan dari kapal yang tidak bisa diidentifikasi. 

Proses dari penggunaan drone seperti scan eagle adalah dengan mengirimkan drone untuk memperluas area pencarian yang tidak bisa dicapai dengan kapal patroli biasa, dengan pencarian dapat diperluas hingga  sesuai dengan jangka waktu hingga 18 jam di udara (Insitu, 2024) . 

Selain itu inovasi lainnya yang dapat digunakan adalah drone kapal yang sekarang sedang dikembangkan oleh Task Force 59 AS yang akan menggunakan teknologi AI dan drone kapal untuk menjaga perbatasan perairan sehingga dapat mendeteksi apabila terdapat penerobosan kapal ilegal di perairan yang luas (Revell, 2023).

Kesimpulan

Sehingga berdasarkan pembangunan instalasi militer RRT di LCS, penulis mengidentifikasi beberapa ancaman terhadap kedaulatan Indonesia, pertama dari segi ekonomi dengan dilakukannya illegal fishing oleh nelayan RRT serta mendorong adanya kegiatan ilegal oleh negara lain akibat tekanan yang RRT berikan di LCS , kedua adalah dari segi pertahanan dengan terjadinya penerobosan kapal laut RRT dari coast guard serta penggunaan cabbage strategy akan menghasilkan banyak komplikasi pada perbatasan Indonesia di utara teruma di Pulau Natuna, berdasarkan hal tersebut penulis menyarankan bagi Indonesia untuk berinvestasi lebih pada alat pertahanan yang memungkinkan Indonesia untuk melawan secara asimetris dengan investasi pada produk militer seperti drone, SAM, dan SSM untuk menaikan kemampuan perlawanan Indonesia secara asimetris menjadi lebih baik.

Referensi: 

MilitaryFactory (n.d.). Shuoshi II (class) Coast Guard Patrol Cutter. www.MilitaryFactory.com. https://www.militaryfactory.com/ships/detail.php?ship_id=shuoshi-ii-class-patrol-cutter-china

Tracking China's coast Guard off Borneo | Asia Maritime Transparency Initiative. (2017, April 19). Asia Maritime Transparency Initiative. https://amti.csis.org/tracking-chinas-coast-guard-off-borneo/

vesseltracker.com. (n.d.). ChinaCoastguard5403 - Coast Guard Ship, MMSI 413479690, CallSign BXSQ, Flag China - Vesseltracker.com. https://www.vesseltracker.com/en/Ships/Chinacoastguard5403-I1786211.html

Kenny, M. (2024, May 9). Territorial disputes in the South China Sea | History, Maps, China, Vietnam, Taiwan, Philippines, Malaysia, & Facts. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/territorial-disputes-in-the-South-China-Sea

China is responsible for systemic human rights abuses and illegal. . .. (n.d.). Environmental Justice Foundation. https://ejfoundation.org/news-media/china-is-responsible-for-systemic-human-rights-abuses-and-illegal-fishing-across-the-southwest-indian-ocean-new-investigation

2024 China military strength. (n.d.). www.GlobalFirepower.com. https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=china

China Tracker | Asia Maritime Transparency Initiative. (n.d.). Asia Maritime Transparency Initiative. https://amti.csis.org/island-tracker/china/

Xian H-6. (n.d.). Aero Corner. https://aerocorner.com/aircraft/xian-h-6/

Suciu, P. (2023, November 22). H-6: the old Chinese bomber that has transformed into a missile truck. The National Interest. https://nationalinterest.org/blog/buzz/h-6-old-chinese-bomber-has-transformed-missile-truck-207438

Heydarian, R. J. (2019, March 11). China's Economic cabbage Strategy | Asia Maritime Transparency Initiative. Asia Maritime Transparency Initiative. https://amti.csis.org/chinas-economic-cabbage-strategy/

Admin. (2019, April 11). China's swarming: 'Cabbage strategy' - Institute for Maritime and Ocean Affairs. Institute for Maritime and Ocean Affairs. https://www.imoa.ph/chinas-swarming-cabbage-strategy/

Pascual, F. D., Jr. (2019, April 10). China's swarming: 'Cabbage strategy.' Philstar.com. https://www.philstar.com/opinion/2019/04/11/1909011/chinas-swarming-cabbage-strategy

Petty, M. (2023, September 27). What is Scarborough Shoal in the South China Sea and why are China and the Philippines disputing it? Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/what-is-risk-conflict-disputed-scarborough-shoal-2023-09-26/

IASPOINT. (2024, February 22).Cabbage Strategy. https://iaspoint.com/cabbage-strategy/

Sahputra, Y. E., & Wibowo, E. A. (2022). Kapal Penjaga Pantai Cina Masuk Natuna Perairan ZEE Indonesia, Diduga Sempat Intimidasi Nelayan. TEMPO. Retrieved May 30, 2024, from https://nasional.tempo.co/read/1634511/kapal-penjaga-pantai-cina-masuk-natuna-perairan-zee-indonesia-diduga-sempat-intimidasi-nelayan

Utami, S. (2023, May 16). KKP: Kerugian Ilegal Fishing 26 Juta Ton, Produksi RI hanya 24 Juta Ton. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanbisnis/kkp-kerugian-ilegal-fishing-26-juta-ton-produksi-ri-hanya-24-juta-ton-20Pjethoz3t

Global Defense News. (n.d.). Lancet-3. https://www.armyrecognition.com/military-products/army/unmanned-systems/unmanned-aerial-vehicles/lancet-3-loitering-munition-kamikaze-drone-russia-data-fact-sheet

CBS News (2017, May 10)US brings in more technology to fight drug smuggling at sea. CBS News. https://www.cbsnews.com/miami/news/us-brings-in-more-technology-to-fight-drug-smuggling-at-sea/

Revell, E. (2023, April 24). US Navy to use unmanned, AI-driven ships to counter smuggling, illegal fishing. Fox Business. https://www.foxbusiness.com/technology/us-navy-use-unmanned-ai-driven-ships-to-counter-smuggling-illegal-fishing

Gupta, S. (2015, January 19). The nine dash line and its basis in international law.. China-US Focus. https://www.chinausfocus.com/peace-security/the-nine-dash-line-and-its-basis-in-international-law

Asia Maritime Transparency Initiative. (2017, April 19). Tracking China's Coast Guard off Borneo. Asia Maritime Transparency Initiative. https://amti.csis.org/tracking-chinas-coast-guard-off-borneo/

Mjaawad. (n.d.). Chinese YJ-62 Long Range Anti Ship Cruise Missile (ACSM). Chinese Military Review. https://chinesemilitaryreview.blogspot.com/2013/12/chinese-yj-62-long-range-anti-ship.html

Sukmana, Y. (2023, May 16). KKP: Kerugian akibat "Illegal Fishing" Capai 23 Miliar Dollar AS. KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2023/05/16/161137126/kkp-kerugian-akibat-illegal-fishing-capai-23-miliar-dollar-as

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun