Penulis terlahir dan dibesarkan sebagai umat Buddhis. Tapi, bukan berarti sudah mengerti, memahami, dan mempratekkan ajaran Dhamma sesungguhnya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Selama 40 tahun pertama hidup sebagai manusia, spritual yang dijalankan oleh penulis lebih mengedepankan ritual sembahyang. Mengandalkan doa dan doa. Pokoknya doa deh, pasti di berikan. Dengan kata lain 'way out' dari segala penderitaan adalah "berkah", bonusnya mukjizat.
Dan, selain doa, banyak juga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi. Katakanlah semacam kesungguhan hati agar malapetaka tidak datang menghampiri. Cara yang tepat untuk lebih mendekatkan diri ke alam Nirwana. Menjalankan amanat yang sudah dicanangkan sejak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu.
Salah satu contohnya adalah; "jangan main ompim pah di malam hari nanti akan di culik dedemit, nak." Itu ancaman dari almarhum mama yang masih membekas hingga kini.
Lalu, adapula "jangan potong kuku di malam hari, nanti mbak kunti  akan muncul."
Dan, yang paling ngeri-ngeri sedap adalah, "jangan tunjuk jari ke bulan, bisa hilang jarimu."Â
Lalu, semuanya berubah.
Ada sebuah kalimat yang mengatakan "Life Begins at 40." Tepat sepeti itu. Penulis baru sadar bahwa dalam 40 tahun kehidupan, meskipun KTP tertera agama Buddha, tapi sesungguhnya penulis bukanlah penganut Buddha-Dhamma.
Lah, kenapa bisa?
Karena Buddhisme bukan hanya persoalan ritual. Semua ada prosesnya. Dan setiap proses pasti akan menghasilkan reaksi. Sebab akibat Namanya.