Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan bijak mengirimkan saya salinan digital sebuah buku yang cukup bernas. Buku tersebut memaparkan alasan seorang bhikkhu tertentu enggan memenuhi undangan peresitasian paritta. Alasan-alasan yang dipaparkan memiliki rujukan yang jelas dan bisa langsung diselisik pada sumbernya.
Tidak dipungkiri, praktik peresitasian paritta sudah lama menjadi bagian dari tradisi Buddhis. Apakah untuk upacara pemberkahan, kesembuhan, atau perkabungan. Sehingga, apresiasi dan kesalutan saya persembahkan kepada penulis buku yang cukup cermat terhadap landasan pustaka, terkhusus Pustaka Suci.
Merujuk buku tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik peresitasian pada awalnya digunakan sebagai sarana untuk mengingat, sehingga apa yang telah diingat tersebut dapat dipraktikkan dalam pengembangan batin. Akan tetapi, praktik peresitasian yang jamak saat ini sudah bercampur dengan wacana-wacana berkah sensasional. Wacana-wacana yang menyimpang dan tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Tidak jarang, meskipun tidak semua, seorang perumah tangga beranggapan bahwa "berkah-berkah" berupa kesenangan indriawi yang dia inginkan akan didapatkan semata-mata karena peresitasian paritta. Dari sini bisa terlihat, baik tujuan maupun cara memperolehnya adalah keliru total. Kemungkinan besar, orang tersebut tidak pernah mempelajari Dhamma dengan sesuai. Barangkali saja, tidak pernah sekali pun menginjakkan kakinya di wihara.
Dalam kasus lain, pihak-pihak tertentu yang memiliki tujuan tidak lurus, menggunakan kesempatan tersebut untuk meraih keuntungan secara curang. Memang, perihal ini tidak hanya terjadi saat ini. Terkait ini, Sang Buddha biasa menjuluki pihak-pihak tersebut sebagai "penggerogot perumah tangga" atau "pencuri ulung". Yang melakukan praktik-praktik melenceng demi mendapatkan kebutuhan hidupnya.
Ini sungguh-sungguh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Ajaran Sang Guru. Lebih-lebih, jika melihat kisah-kisah dalam sutta, yang bisa kita temukan adalah Sang Begawan beserta para bhikkhu akan membabarkan Dhamma secara perinci, saat ada peristiwa tertentu, semisal untuk memotivasi ketika ada seorang bhikkhu atau perumah tangga yang sakit. Sehingga, mereka memiliki pandangan yang sesuai untuk dikembangkan lebih lanjut.
Akan tetapi, kita tidak semestinya juga menyamaratakan cara pandang semua orang. Ada juga pihak-pihak sudah memahami Dhamma, sehingga ketika mendengar peresitasian paritta, akan mengingat hal-hal yang sudah dipelajari dan mengembangkannya di dalam hati. Jika demikian, bukankah peresitasian paritta di sini memberikan efek yang sama dengan pembabaran Dhamma? Walaupun demikian, tidak banyak pihak yang memahami makna dari paritta yang diresitasikan. Sehingga, membutuhkan uraian Dhamma sebagai penjelasan lanjutan.
Kecuali itu, ada pihak yang mengatakan bahwa setiap keyakinan selalu memiliki dua hal yang menyertai, yakni ajaran dan tradisi. Konon, ajaran tanpa tradisi menjadi gersang karena tidak semua pihak langsung tertarik untuk praktik yang mendalam sehingga tradisi dan budaya merupakan bagian dari pembabaran ajaran.
Merujuk pada ungkapan tersebut, bisa diibaratkan tradisi dan budaya adalah sebuah pintu masuk, dan memang sepatutnya diperlakukan seperti pintu masuk. Sebuah pintu masuk kadang-kadang membutuhkan ornamen sewajarnya sehingga mudah dicirikan.
Tanpa ada penanda, orang-orang yang belum mengetahui keberadaan pintu tersebut, sungkan atau bahkan memang tidak bisa masuk. Namun, jika ornamen tersebut berlebihan hingga menyulitkan untuk membuka pintu tersebut, menjadi tidak mangkus dan sangkil.