Sadranan versi Tionghoa dikenal dengan istilah Cheng Beng. Tahun 2023 ini jatuh pada hari Rabu, 5 April. Itu karena tahun ini bukan tahun kabisat, bulan Februarinya hanya sampai dengan tanggal 28 saja.
Secara harafiah, Cheng berarti Bersih dan Beng berarti Terang. Lebih spesifik lagi, setiap keluarga akan membuat makam leluhur mereka menjadi "bersih" dan "terang." Jadi, tidaklah berlebihan jika hari Cheng Beng juga dikenal sebagai hari Bhakti; untuk menyatakan sujud dan hormat kepada siapa yang harus kita hormati.
Tentu saja wujud perayaan ini juga senada dengan ajaran Buddhis. Di mana dalam Paritta Suci Manggala Sutta, bait 2 baris 3, tertulis: "Menghormat yang patut dihormati, Itulah Berkah Utama." Sedangkan pada bait 8 baris 1 dan 2, tertulis:Â "Memiliki rasa hormat berendah hati, merasa puas dengan yang dimiliki, ingat budi baik , itulah Berkah utama."
Adapun upacara bersih makam ini disebut dengan The-tse (Mandarin), The-coa (Hokkian).
Kebiasaan lain dalam prosesi membersihkan makam adalah menebarkan kertas panjang selebar ibu jari (kertas The-coa)diatas makam yang baru dibersihkan. Selain di makam, persembahyangan juga dapat dilakukan dirumah keluarga masing-masing, di Rumah Abu, atau di Tepi Sungai atau laut bagi yang leluhurnya dikremasi dan dilarung.
Tradisi ini sama pentingnya dengan upacara sembahyang peringatan hari wafatnya orang tua mereka.
Berdasarkan sejarah, ada berbagai versi atas tradisi ini. Salah satunya adalah kisah tentang Kaisar Cin Bin-kong di zaman Dinasti Han. Konon ialah yang pertama kali menganjurkan pembersihan makam. Dan, sekaligus sebagai sosok pertama yang mendeklarasikan Festival Cheng Beng.
Upacara sembahyang Cheng Beng memiliki makna filosofi: "Jika kita minum air, maka janganlah lupa pada sumbernya"
Versi lain dari Cheng Beng berasal dari zaman Dinasti Ming. Pada saat itu, hiduplah seorang raja yang Bernama Chu Goan-ciang (1364-1644 M). Sebelum naik tahta, Chu adalah seseorang yang hidupnya sangat miskin dan menumpang di vihara. Di sanalah ia belajar agama Buddha.
Saking melaratnya sehingga ia tidak pernah lagi bertemu dengan ayah dan ibunya. Barulah pada saat ia menjadi Raja, kerinduan kepada kedua orangtuanya pun membuncah. Ia ingin beziarah ke kubur ayahnya, tetapi apa daya, ia tidak tahu di mana letaknya.