Puisi menurut Herman J. Waluyo (1987) merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif yang disusun dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya; seperti ide, pikiran, ungkapan emosi, imajinasi, kesan-kesan, perasaan-perasaan, hasil pengamatan, pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Yang dituangkan dengan teknik tertentu dalam sebuah tulisan, untuk membangkitkan pengalaman dalam diri pembaca atau pendengarnya.
Di sini mengapa saya memilih menulis puisi, karena saya merasa lebih pendek, lebih mudah (setidakya bagi saya pribadi), cukup sederhana, dan lebih asyik saja. Sehingga saya pun mulai berguru, belajar dari seseorang, mencari informasi, banyak membaca, dan semua hal yang bisa menyokong saya bagaimana menulis puisi yang benar, baik, dan bermanfaat. Setelahnya, saya pun mulai mencoba menuangkan ide-ide, apa yang saya rasakan, apa yang saya lihat. Baik pada saat saya sedang sendiri, saat dengan orang lain, saat beraktivitas, dan lain-lain. Semuanya saya tuangkan dalam bentuk puisi yang masih jauh dari sempurna.
Guru saya selalu menganjurkan membuat puisi yang berkesan positif, yang menginspirasi, yang memotivasi, tidak cengeng, tidak berkonotasi negatif, bisa membangkitkan semangat. Semuanya agar bisa membuat pembaca yang sekiranya lagi putus asa, lagi sedih, menjadi terinspirasi, atau termotivasi untuk bangkit, untuk berusaha. Bukannya malah terpuruk lebih jauh, hanya karena tulisan saya.
Disini berkat bimbingan beliau, menurut saya puisi yang aku buat sudah jauh lebih baik, dari waktu ke waktu.
Terkhusus tema, saya lebih tertarik dan memilih untuk menulis puisi Dhamma. Hal itu dikarenakan, setelah survei sana-sini, mengamati, dan mempelajari, ternyata menurut pengamatan saya, penulis puisi dhamma masih sangat kurang.
Saya lantas mulai memberanikan diri, mencoba- coba untuk membuat puisi dengan tema Dhamma. Selain karena memang menarik hati, ada sebuah keuntungan dasar yang saya temukan dalam memilih tema ini; Saya juga bisa belajar Dhamma, melatih, dan mempraktekkannya, sekaligus. Menulis Dhamma juga memberikanku kesempatan untuk membabarkanya, dimana itu juga termasuk perbuatan baik.
Saya hanya berharap semoga puisi saya dapat menginspirasi dan memotivasi semua orang untuk lebih mengenal Dhamma, belajar Dhamma dan juga mau berpraktek Dhamma. Meskipun demikian, saya tidak bermaksud untuk mengagulkan agama Buddha yang kuanut. Karena pada hakekatnya, kebenaran Dhamma adalah kebenaran kehidupan di dunia yang alami yang bisa dipelajari siapa saja.
Dalam menulis puisi memang seringkali orang-orang menggunakan kata-kata yang tinggi melambung entah kemana, dengan istilah-istilah tingkat dewa, yang kadang-kadang terasa susah dimengerti bagi sebagian orang. Tentunya, tidak salah. Namun, saya mencegah hal itu. Saya ingin puisi yang saya tulis memiliki makna yang sederhana yang mudah diproses oleh berbagai jenis kalangan pembaca.
Untuk itulah, saya lebih memilih puisi yang sederhana, mudah dipahamu, mudah dimengerti, tidak membuat pusing, tidak membosankan, simple, tapi masih sesuai standarnya, dengan kata-kata, yang menyenangkan, membuat gembira, sehingga orang akan tertarik dengan apa yang saya tulis. Hingga pada akhirnya, maksud dan tujuan tulisan tersebut lebih mudah tercapai
Syukur-syukur bisa memotivasi dan menggugah pembaca untuk lebih semangat belajar Dhamma bagi yang belum paham, praktek lebih baik lagi. Bagi yang sudah paham, tetap bersemangat belajar. Apa pun itu, tetaplah semangat dalam berlatih membina diri, memupuk segala kebaikan sebagai penunjang kumpulan kebajikan yang telah kita lakukan dahulu, agar tidak kita habis-habiskan sekarang ini. Demi persiapan kelahiran kita yang akan datang, karena bagaimana pun juga kita masih akan terlahir lagi, karena kita belum mencapai penerang sempurna apalagi Nibbana.