Mengapa?
Tersebab setiap tradisi yang diwariskan turun-temurun tentu dibuat dengan alasan khusus. Meskipun terkadang terdengar tidak masuk akal, tetap saja -- ia harus dipertahankan.
Lagipula, setiap hal yang tidak masuk akal itu bukanlah pepesan kosong, bahkan lebih daripada itu. Setiap petuah yang disikapi dengan bijaksana akan menunjukkan pemahaman yang lebih dahsyat dari sekadar penjelasan berlogika.
Musababnya, karena pola pikir masyarakat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh ajaran filosofi Confucianisme yang mengedepankan tata krama sosial sebagai alat perekat dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, marilah kita mengambil beberapa tradisi imlek, mumpun sang Kelinci Air baru saja naik takhta;
Keharusan bagi-bagi angpao, maknanya untuk mengajari kita untuk berbagi. Syarat untuk bersih-bersih rumah, tujuannya agar keluarga merasa nyaman. Pantangan untuk tidak minum obat di hari imlek, mengajarkan kita untuk menjaga kesehatan. Dan masih banyak lagi.
Demikianlah sobat. Jadi, jika ada pantangan yang tidak bisa dilakukan selama imlek, itu bukan takhayul semata. Lebih jauh daripada itu; memiliki pesan moral yang jauh lebih dalam daripada sekadar larangan.
Jadi, sebagai manusia yang terjebak di antara kaum Kolonial dan Milenial, cara yang terbaik untuk menyikapinya adalah dengan tidak memaksakan kehendak dan juga tidak perlu nyinyir.
Bertengkar untuk hal sepele rasanya terlalu merugikan. Mengorbankan keharmonisan rasanya tidak elok. Sikapilah dengan bijaksana dengan mengedapankan makna filosofis dari setiap aturan tradisi.
Tradisi boleh dipertahankan agar seluruh keluarga bisa hidup rukun dan damai.
Sudah ah. Rambut sudah gatal nih, pengen keramas dulu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!