Setelah bayi dilahirkan yang dibutuhkan hanyalah makan. Tak peduli ia pakai baju apa, warna pakaiannya apa, tak peduli apa yang dikatakan orang sekitarnya, tak peduli siapa yang mengajak bicara. Yang ia peduli hanya makan, lalu tidur.
Ketika mulai tumbuh, ibunya selalu mengingatkan: "Habiskan susumu", "Habiskan makananmu". Berlanjut dengan: "Pakai pakaianmu". Ketika mengambil barang orang lain orang tua mengingatkan: "Ini punyamu. Tidak boleh ambil barang orang lain, itu bukan punyamu".
Bayi mulai tumbuh dan tahu ini punyaku, itu punyamu. Ketika barang miliknya diganggu, si kecil mulai marah, kenapa mengganggu punyaku. Lingkaran miliknya, semula hanya sebotol susu, sekarang mulai tumbuh membesar menjadi bajunya, mainan dan segala macam pernak-pernik perlengkapan anak-anak.
Ketika tumbuh besar, lingkaran miliknya juga tumbuh. Ini temanku, tidak boleh ganggu. Ini sekolahku yang terhebat, awas kalau menjelekkannya. Ini teman-temanku, paling baik, tidak boleh dihina.
Ketika sudah dewasa, ketika semakin berumur, lingkaran miliknya dapat berkembang sangat jauh. Barang-barang imajiner juga menjadi miliknya, terkadang bahkan lebih besar dari semestinya.
Ini yang aku percaya tidak boleh dilecehkan. Ini calon bupatiku, ini calon gubernurku, ini calon presidenku, awas kalau menjelek-jelekkannya, awas kalau tidak mendukung. Ini yang aku mau, awas kalau diganggu, awas kalau tidak mendukung aku. Satu kalimat saja yang mengganggu lingkaran miliknya, dapat membuyarkan kedamaian hatinya.
Ketika lingkaran miliknya menjadi besar, ia sulit mencari tempat untuk dirinya. Kemanapun ia pergi lingkaran miliknya terganggu. Tidak ada tempat yang damai baginya, dimanapun ia pergi ada saja yang mengganggunya.
Jika saja lingkaran miliknya hanya sebatas botol susu, maka ia bisa pergi kemanapun tanpa terganggu.
Begitu ego semakin membesar, kedamaian semakin menyusut.
**