Apakah semut-semut itu benar-benar telah pergi atau terperangkap dalam coklat yang pekat hitam. Apabila begitu adanya, ugh ... rasanya pasti jadi aneh, pedas-pedas gimana gitu. Ach ... pokoknya jadi tidak enak dilidah.
Kuraih piring itu sambil mencari-cari. Kuangkat, kutiup-tiup, tetapi ... Ajaib, tak ada seekor pun yang nampak. Ternyata mereka tahu diri juga, nurut kata, dalam waktu sekitar empat puluh lima menit mereka sudah angkat kaki.
Aku bersiap berangkat ke Vihara, dengan santai kumasukkan semua bahan-bahan danaku ke mobil. Tak ketinggalan piring martabak yang sengaja kutaruh di bangku sebelah kemudi, agar aku bisa mengamatinya. Siapa tahu ada semut yang nonggol lagi, sungguh mati aku masih penasaran apakah semuanya sudah pergi atau masih ada yang tersisa.
Selama di Vihara pikiranku terpusat pada persiapan dana dan chanting. Semut pun terlupakan, baru dalam perjalanan dari Vihara ke kantor, dia kembali  mengusik pikiranku lagi. Dan begitu sampai dikantor aku tak sabar untuk mencicipi martabakku, apakah ada rasa semut disana? Wkkwkwkkwkkkkwkkk ....
Sebelum kusuap, aku masih mencoba mencari-cari barangkali akan kudapati semut di dalamnya. Tapi memang tak mungkin aku bisa memilahnya, karena lengket dan hitam jadi satu. Maka... Â ya.... sudahlah... hap... masuk mulut. Kukunyah perlahan-lahan untuk mencari rasa lain yang aneh dalam martabakku. Dan ternyata rasa martabak yummy sampai pada gigitan terakhir tanpa ada rasa semutnya.
Kurenungi kejadian ini, apakah rasa cinta kasih dalam diriku sudah semakin menebal? Atau cuma kebetulan saja. Entahlah, karena aku bukan doctor Dolittle yang dapat bekomunikasi dengan hewan.
Dulu aku begitu sadis, tidak berkeperibinatangan sama sekali, karena aku selalu sigap menyalakan api dan membakar. Alhasil jadilah martabak beraroma sangit serasa semut.
Kalau direnungkan berapa banyak semut yang telah menjadi korban keberingasanku. Itu pun belum termasuk nyamuk, kecoa, dan serangga lainnya. Semut-semut itu pasti ketakutan melihat kobaran api dan nyamuk-nyamuk itu kesakitan tersentuh sengatan listrik. Oh ... betapa sadisnya aku? Betapa dungunya diriku merasa puas melihat makhluk lain menderita. Tak dapat kubayangkan betapa banyaknya karma buruk yang kusemaikan dalam kehidupanku.
Semoga saja dengan munculnya kesadaran ini, walaupun dapat dikatakan "terlambat," aku bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Jadi kubiarkan saja semuanya berproses secara alami, mengurangi nafsu bengisku, batin pun tenang. Kesehatan semakin prima adalah bonusnya.
Kukembangkan rasa belas kasihku terhadap semua mahkluk secara alami, semoga semua mahkluk berbahagia
**