Sambil berkendara, dua potong martabak yang kutaruh di sebelah bangku kemudi membuatku penasaran. Di setiap pemberhentian lampu merah, kulayangkan pandanganku pada piring martabak itu, sambil mencoba mencari-cari. Barangkali saja ada seekor semut yang mengendap-endap merayap keluar dari sela-sela lelehan coklat bercampur kacang dan wijen.
Sekilas terbit liurku membayangkan kelezatannya, namun seketika itu juga terlintas pemandangan tadi pagi. Piring martabakku dikeributi semut-semut kecil. Dasar piring yang putih menjadi berwarna merah jingga. Makhluk sibuk ini berjalan kian kemari, "oh ... tidak ..." Bagaimana caranya mengusir puluhan, mungkin juga ratusan semut yang berkeliaran disana.
Timbul sedikit penyesalan, harusnya martabak itu langsung kulahap semalam, tanpa harus kutahan-tahan. Tapi mengingat kadar gulaku sedang lumayan tinggi, aku harus mengatur pola makanku. Kutunda untuk langsung menyantapnya. Aku meletakkannya ditempat yang aman agar tidak disemuti, namun entah dari mana makhluk-makhluk kecil itu bisa mempunyai jalur menuju dan berpesta pora di piring martabakku.
Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa kecewa, karena mengusir puluhan bahkan ratusan semut kecil sepertinya pekerjaan sia-sia. Kalau dulu sudah pasti kubakar dengan kertas yang kupilin-pilin sehingga menyerupai obor, atau kutaruh diuap panas panci kukusan. Alhasil semut-semut itu akan mati. Lalu dengan jurus kesabaran dewa, kucari bangkai-bangkai semut yang berbau sangit itu satu persatu.
Tapi, pagi itu tidak kulakukan. Rupanya rasa cinta kasihku sedang dalam keadaan "on". Walaupun kesal. tapi aku tidak bersikap sadis. Sambil menghela nafas aku berbicara sendiri " oh semut-semut kecil pergilah, aku tidak mau menyakiti atau membunuh kalian, silahkan ambil sebanyak yang kamu bisa, lalu tinggalkan martabakku sekarang juga "
Setelah  berkata-kata seperti itu, aku keluar untuk memberi makan kucing-kucing liar yang pasti sudah menungguku diluar sana. Setiap hari, jam lima pagi dan jam lima sore.
Sambil memberi makan, satu persatu kuusap. Ketujuh-tujuhnya mendapat giliran. Lalu kuajak mereka bermain, ada dua ekor yang sangat manja, mereka selalu caper. Mereka adalah si bubu dan si Rungi, yang selalu bergantian minta dipangku. Tak terasa sudah tiga puluh menit bermain dengan mereka, aku pun bergegas masuk, mandi, dan bersiap-siap ke Vihara. Â
Kucing-kucing itu seperti mengenal waktu, mereka tidak pernah terlambat datang ke rumahku untuk makan setiap pagi dan sore harinya. Mereka langsung menyerbuku begitu aku membuka pintu di pagi hari dan saat aku keluar dari mobil disore hari. Beberapa kali aku pulang terlambat sekitar satu atau dua jam, kucing-kucing itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya lagi. Hebatkan ...mereka selalu tepat waktu. So ... kalau ada orang yang suka sering terlambat atau belum bisa menanggalkan jam karetnya, seharusnya mereka merasa malu sama si kucing, he... he... he...
Eh ... kok jadi ngelantur sih, malah jadi cerita kucing. Yuk... kita balik lagi ke semut-semut kecil yang sedang berpesta pora di piring martabakku. Apakah mereka masih asik mengelilingi martabakku?
Setelah selesai mandi dan berdandan ala kadarnya, aku langsung mengambil obat  yang rutin kuminum setiap paginya. Kulirik piring martabakku dan ternyata, sim ...salabim, tak tampak seekor semut pun disana.Â