Ketika peperangan di dalam pikiran mulai memainkan dramanya. Antara realita kehidupan dan ilusi pikiran. Membutuhkan materi untuk pendidikan si buah hati, menuntutku untuk terus berjuang. Melawan rintangan, mencari kesadaran.
Dan walau jatuh tertindas, ku tertatih bangkit, dan bangkit lagi, dengan senyuman di hati,
Meyakinkan diri bahwa akan ada buah manis. Yang akan kupanen dari bibit baik yang telah kutanam, kupupuk dan kusirami. Kini dalam gemetar langkahku karena tergulung usia, siapa yang hendak menolongku?
Walau telah kulambaikan tangan permohonan dalam kelu lidah yang tak mampu berucap, hingga tubuhku benar benar ambruk, bagai saat aku terombang ambing di tengah samudera.
Namun tak ada mereka yang kupanggil untuk tergerak datang menyambut tanganku. Agar ku tak tenggelam dan hanyut. Kupecut semangat hatiku untuk takputus harap.
Akan disuatu hari esok, aku bisa menarik nafas dengan senyum kebahagiaan. terlukis di garis kerut pipiku tanpa dendam. Sambil kunikmati segelas teh hangat dengan penuh kesadaran. Disuatu sudut senja, dimana aku akan menatap jalan yang telah kulalui dengan segala likunya.
Dan berkata aku mampu melewati semua itu dengan penuh syukur dalam pengembaraanku di kehidupan ini.
**
Catatan:
Butiran ini aku buat saat benar-benar berada di titik nol. Setelah pindah kamar perawatan, beberapa jam pasca sadar dari UGD