Oleh sebab itu, momen sebelum kematian menjadi hal yang penting. Tentunya surga menjadi harapan. Makanya setiap agama pasti memiliki ritualnya masing-masing. Doa sebelum dan sesudah kematian dilantunkan, berharap agar malaikat surgawi yang datang menjemput.
Pengalaman sebelum meninggal adalah pengalaman spiritual. Siapapun akan penasaran, kemanakah mendiang akan pergi setelah kematian? Surga dan neraka menjadi pilihan, itupun masih meragukan.
Apakah setiap manusia akan bahagia atau menderita pada momen sebelum ajal menjemput? Menarik melanjutkan pembahasan ini dari sisi sains.
Seorang peneliti klinis asal University of Liverpool, pernah merisetnya. Seamus Coyle mengatakan bahwa menjelang kematian, kadar endorfin dan serotonin akan meningkat. Kedua zat kimia ini bertanggung jawab terhadap perasaan bahagia di otak. Fungsinya adalah untuk membantu manusia menekan rasa sakit sebelum kematian.
Sayangnya tidak semua pasien seperti itu. Ada beberapa pasien yang tampak kesakitan sebelum meninggal. Menurut pengamatan ahli, kebanyakan dari mereka adalah yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka sekarat.
Seamus Coyle juga adalah seorang ahli perawatan paliatif, atau perawatan pasien yang menderita penyakit kronis. Ia menyatakan bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dicegah. Melawannya adalah hal yang sia-sia. Proses kematian yang damai atau tidak, sangat bergantung kepada sikap nrimo pasien yang akan meninggal.
Saya lalu mengkorelasikannya dengan filsafat Buddhisme, tentang kemanakah kita akan pergi saat meninggal nanti. Bagi umat Buddha, kematian adalah proses transisi dari kehidupan saat ini ke kehidupan berikutnya.
Pengalaman terakhir sebelum kematian disebut dengan cuti-citta (kesadaran ajal). Secara umum proses ini disebut dengan pengelihatan terakhir (last conscious).
Proses ini menjadi sangat penting, karena ia akan menentukan ke alam manakah mendiang akan melanjutkan kehidupannya. Jika baik, maka ia akan pergi ke alam yang baik. Sebaliknya, jika buruk maka alam bawah (alam penderitaan) yang akan menjadi tujuannya.
Lalu faktor apakah yang menentukan Last Conscious?
Menurut ajaran Buddha, last conscious didorong oleh kebiasaan-kebiasaan mendiang selama masih hidup. Dan juga kekuatan perbuatan (karma) yang telah ia kumpulkan. Pada saat karma akan berpindah tempat, di sanalah pembawa karma kelak akan terlahir