Di sebuah pinggiran kota kecil, Satria seorang bocah berusia 9 tahun hidup bersama Ayah dan Ibunya. Ayahnya Pilot di sebuah maskapai sedangkan Ibunya seorang penjahit kecil-kecilan. Mereka hidup sederhana, rukun bahagia.
Suatu senja, Ayah Satria mengajaknya berjalan-jalan di tanah lapang sekitar rumahnya. Saat itu langit tampak cerah, angin bertiup cukup kencang. Banyak anak-anak sedang bermain layangan. Ada yang besar, ada pula yang kecil. Bentuknya tradisional seperti belah ketupat, namun ada beberapa tampak seperti layangan peteng. Ukurannya besar dan berbentuk unik. Tampak seperti bentuk orang atau hewan dengan aneka warna.
Anak-anak tertawa lepas, menikmati permainan layang-layang dengan bahagia. Satria mengamatinya sambil sesekali ikut tersenyum. "Nak, kamu mau belajar menerbangkan layang-layang?" tanya Ayah Satria tiba-tiba. Tak perlu ditanya dua kali, Satria langsung menjawab dengan lantang "Mau...mau!!".
Esoknya, Ayah Satria mengajak dia membuat layang-layang sendiri. Ada banyak kertas warna-warni, selotip, gunting, lem, tali dan bambu seukuran tusuk sate. Mereka mulai asyik membuat layang-layang hingga tak terasa mentari sudah berada tepat di atas kepala. "Membuat layang-layang harus seimbang, Nak" begitu kata Ayah Satria mengajarkan. "Jika belum seimbang, kita bisa menambahkan pita di bagian tertentu" katanya menambahkan.
"Nanti, jika sudah dinaikkan, biarkan dia terbang tinggi mengikuti angin. Selama talinya kita pegang dan tidak putus tandanya layangan itu masih milik kita. Terkadang kita perlu menarik atau mengulur talinya menyesuaikan keadaan" begitu kata Ayah menambahkan. Satria hanya mengangguk-anggukan kepala mendengarkan arahan Ayahnya.
"Seperti halnya layang-layang, hidup kita pun demikian Nak. Kita perlu membentuk dan mengarahkan diri ke arah yang baik. Perlu keseimbangan dalam menjalani kehidupan ini. Sesekali perlu keras namun adakalanya kita boleh lembut terhadap diri sendiri. Jika layang-layang itu putus, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Sebab jika kita menggenggamnya terus, kita akan semakin menderita. Kita perlu melepasnya agar dapat menikmati kebahagiaan yang selanjutnya" Ayah Satria memberi wejangan.
Ayah berjanji menerbangkan layang-layang bersama minggu depan setelah kembalinya beliau dari tugas. Satria tak sabar menghitung hari-harinya. Ia sangat ingin menerbangkan layang-layang buatan dia dan Ayahnya. Setiap hari di elus-elus layangan berwarna Merah dengan pita warna Kuning itu. Ingatannya kembali pada beberapa hari yang lalu "Janji loh Yah, kita akan terbangkan sama-sama setelah Ayah pulang nanti" Satria mengingatkan lagi sebelum Ayahnya berangkat. "Iya, Janji" ucap Ayahnya sambil mengecup pipi Satria berpamitan.
Hari Sabtu tiba, artinya Ayahnya akan kembali petang ini. Satria semakin tak sabar. Sambil menunggu, Satria menonton televisi dan makan mie ayam buatan Ibunya. Baru beberapa suap, dia tercengang hampir tersedak. Berita di TV membuat matanya melotot seakan tak percaya. Berita tentang pesawat jatuh di perairan selat sunda bak petir di siang bolong baginya. Karena di situ tercantum nama Irwanto, Ayahnya sebagai salah satu korban yang meninggal.
Ibu Satria tak henti-henti menyeka air mata, pun Satria. Rumah yang awalnya penuh canda tawa menjadi berselimut duka. Pelayat yang datang satu persatu telah kembali pulang. Namun hati Satria yang hancur tak jua kembali menyatu.
Pikirannya kacau, perasaannya remuk redam. Ibunya berusaha keras menegarkan diri dengan memeluk tubuh kecil Satria. Seakan mengingatkan diri bahwa masih ada Satria yang harus Ia besarkan dengan penuh semangat meski separuh jiwanya telah pergi meninggalkan dirinya.
Tahun berganti, Satria tumbuh semakin dewasa. Ia menjadi pria sukses dan bahagia sesuai harapan kedua orangtuanya. Ibunya yang tinggal bersama Satria ikut bahagia melihat kesuksesan anak semata wayangnya.  Meski Ayahnya telah lama tiada, Satria selalu ingat tentang segala kebaikan-kebaikan Sang Ayah. Nasehat-nasehat  mendiang menjadi salah satu pegangan ketika Ia menemukan masalah. Ia tak pernah lupa melimpahkan jasa-jasa kebajikkan untuk mendiang Ayahnya di setiap kesempatan.
Suatu senja, Satria menyempatkan diri berjalan-jalan ke tanah lapang  dekat rumahnya sambil mengajak Ibunya yang duduk di kursi roda. Mereka berhenti di bawah sebuah pohon rindang sambil menikmati semilir angin. Di kejauhan tampak anak-anak sedang menerbangkan layang-layang sambil berteriak kegirangan.
Seketika ingatan Satria berlari menuju masa kecilnya bersama Ayah. Sekelebat ada rasa sedih ingin menghampiri namun segera Ia tepis. "Ibu, tunggu sebentar di sini ya..." Kata Satria tiba-tiba pada Ibunya. Ia lalu berlari menuju rumahnya dan dalam sekejap telah kembali dengan sebuah layang-layang di tangannya.
Dengan senyum di bibirnya Ia berkata "Aku ingin menerbangkan ini Bu..." Ibunya mengangguk tanda setuju. Tak lama, layang-layang berwana Merah dengan pita Kuning telah berlenggak lenggok jauh di atas kepala mereka.
"Ayah...Lihat, kita berhasil!!" Kata Satria ke arah layang-layang. "Seperti janji kita dulu, kita akan menerbangkannya bersama. Satria sudah menepatinya hari ini. Meski Ayah tak ada di sini, tapi Aku merasa Ayah pasti ikut senang bila melihat semua ini" teriaknya lagi dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah, dimana pun Engkau berada saat ini... Semoga Engkau hidup berbahagia. Satria selalu ingat pesan Ayah, bahwa kita harus berusaha melepas agar dapat menikmati kebahagiaan-kebahagiaan yang datang selanjutnya" lanjutnya lagi.
Kemudian Satria memutuskan tali yang mengikat serta membiarkan si layang-layang pergi mengikuti angin yang membawanya. Ia lalu melambaikan tangan seakan turut melepas kepedihannya selama ini.
Dengan mata yang masih berkaca-kaca, Satria memeluk sang Bunda. Ibunya membalas dengan penuh kehangatan yang menenangkan batin Satria. "Semoga Ayah hidup berbahagia di manapun Ia berada saat ini. Yang lalu biarlah berlalu.
Di manapun kau berada kelak ketika ingat mendiang Ayahmu, kirimkanlah cinta kasih dari dalam hatimu. Percayalah, dia pasti akan dapat merasakannya" kata Ibunya dengan bijak. "Karena cinta kasih tidak mengenal jarak. Ia dapat menembus waktu dan ruang" tuturnya sambil  meminta Satria mendorong kursi rodanya kembali ke rumah.
Di bibir Satria tersungging sebuah senyuman mengiyakan perkataan Ibunya. Dalam hati Satria terus berucap "Semoga Ayah Berbahagia, Semoga Semua Mahluk Berbahagia."
**
Jakarta, 12 Juni 2022
Penulis: Karly Santosa untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H