Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Monolog KUDIS: Nafsu Keinginan dalam Batin yang Gelap

25 April 2022   06:48 Diperbarui: 25 April 2022   06:58 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mettasik, chuang bali, dokpri

Aku suka komik-komik karya Tsai Chih Chung, komikus Taiwan terkemuka. Aku mengoleksi karya-karyanya dari sejak masa ketika ORBA masih berkuasa, saat mana edisi Indonesia dari "Pepatah Lao Tze" atau "Pepatah Konfusius" masih menderita sensor di beberapa fragmennya, ketika aku terheran-heran menemukan balon-balon dialog yang sengaja dikosongkan oleh penerbit edisi Indonesia demi menenangkan rezim ORBA yang rasis terhadap keturunan Tionghoa dan budayanya.

Pada salah satu buku komik edisi Indonesia-nya, Tsai Chih Chung bercerita tentang seseorang yang mengidamkan kedamaian. Orang ini membayangkan, betapa akan damai dan bahagia hidupnya jika ia bisa tinggal di tempat sunyi, di hutan sepi dan tenang nan asri. Teman yang diajaknya bicara mengatakan kepadanya bahwa, jika memang begitu, mengapa ia tidak segera saja pergi ke hutan yang dimaksud dan tinggal di sana?

Si orang pengidam kedamaian ini menuruti anjuran si teman, tetapi ternyata kehidupan di hutan tidaklah seperti harapan dan bayangannya: ia justru jadi galau dan gelisah hanya sekadar karena suara-suara hutan yang baginya sangat mengganggu...

Aku membandingkan cerita itu dengan perumpamaan Buddha tentang anjing kudisan. Aku tak tahu persisnya menurut kitab apakah Buddha menyebutkan makhluk ini sebagai anjing atau rubah, namun yang jelas berkaki empat dan berbulu, tapi baiklah kita sepakati saja sebagai anjing.

Seperti yang pernah aku baca dan ingat, pada suatu ketika Buddha sedang bersama para siswa di suatu hutan atau tempat tertentu, ketika Buddha melihat seekor anjing berjalan hilir mudik mondar-mandir kian kemari di sekitar tempat itu. Buddha mengatakan kepada para siswa apakah kalian melihat anjing yang hilir mudik tersebut?

Anjing itu pergi ke sana, herhenti di sana, tapi beberapa saat kemudia dia bangkit dan berjalan ke situ. Lalu di situ dia berhenti, berbaring dan sebagainya, tapi kemudian dia pergi lagi ke arah lain.

Demikian seterusnya. Dia tiada tenang, berpikir jika dia pergi ke sana dan berbaring di tanah, dia akan merasa damai dan nyaman. Tapi sesaaat kemudian dia gelisah lagi, lalu pergi ke situ dan mengulangi lagi tindakannya tadi dengan berpikir kalau sekarang dia berbaring di situ di bawah pohon rindang, maka dia akan merasa damai dan nyaman.

Tetap saja, dia terus menerus gelisah. Mengapa? Karena si anjing menderita kudis di sekujur tubuhnya, dari waktu ke waktu terus menerus merasakan derita gatal-gatal akibat penyakit kudisnya. Dan ke mana pun dia pergi, ke bawah rimbun pepohonan atau ke dalam gua atau sekadar berbaring di atas tanah bebatuan, dia terus membawa kudis itu bersamanya sehingga di mana pun dia berada gatal-gatal itu pun menemaninya.

Tidak ada kedamaian, tidak ada kenyamanan baginya di mana pun selama kudis itu belum diobati, selama kudis itu masih berada di sekujur tubuhnya.

Aku merenungkan keadaan kita, makhluk-makhluk awam yang masih tertipu ilusi ini. Kita mengejar kenikmatan indrawi tertentu yang kita pikir akan memberikan kebahagiaan, namun sesaatnya kita gelisah lagi, bosan dan tak puas, lalu mengejar yang lain atau yang sama namun kita kira beda (karena ilusi kebaru-an).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun