"Terima kasih" adalah frasa majemuk baku dalam bahasa Indonesia. Frasa "terima kasih" telah dipakai secara umum di Indonesia sejak lama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), frasa "terima kasih" diartikan sebagai "rasa syukur". Biasanya "terima kasih" diucapkan sebagai ungkapan rasa syukur setelah mendapatkan kebaikan dari orang lain.
Bagaimana halnya di antara sesama buddhis (pemeluk agama Buddha)? Bagaimana cara mengungkapkan rasa syukur, yang sesuai dengan ajaran Buddha, setelah mendapatkan kebaikan dari orang lain?
Tentu saja penggunaan frasa "terima kasih" untuk mengungkapkan rasa syukur setelah mendapatkan kebaikan dari orang lain tetap berlaku di antara sesama buddhis dan di dalam komunitas buddhis.
Namun sesuai ajaran Buddha, juga dikenal kata "anumodana" yang ditujukan atas perbuatan baik yang telah dilakukan oleh orang lain.
Kata "anumodana" berasal dari bahasa Pali. "Anumodana" terdiri dari awalan "anu", akar kata "mud", dan akhiran "ana". Awalan "anu"Â biasanya digunakan untuk memberikan makna "mengikuti atau turut". Adapun akar kata "mud" berarti "berbahagia, senang, atau gembira". Akhiran "ana" digunakan untuk membentuk keseluruhan kata menjadi kata benda.
Dengan demikian, kata "anumodana" secara harfiah artinya adalah "ikut atau turut berbahagia, senang, gembira".
Sebagai tambahan, kata-kata lain dalam bahasa Pali yang juga memiliki akar kata "mud", contohnya pamodana, modana, anumodati, pamodati, modati, pamudita, anumudita, mudita, dan lain-lain.
Sangat mungkin muncul pertanyaan, "mengapa setelah awalan "anu", akar kata "mud", dan akhiran "ana" digabung, kata akhir yang terbentuk bukan "anumudana" tetapi "anumodana"?
Sudah menjadi aturan dalam bahasa Pali, apabila akar kata mengandung huruf hidup "u", jika ditambahkan akhiran untuk membuatnya menjadi kata benda, huruf "u" akan berubah menjadi "o". Alhasil, kata akhir dari penggabungan "anu", "mud", dan "ana" menjadi "anumodana".