Saat terlahir di dunia, kita tak dapat memilih berada di dalam keluarga seperti apa kita dilahirkan. Kalau dapat memilih, tentu saja kita ingin dilahirkan dalam keluarga yang bahagia. Berlimpah kasih sayang dan materi.
Jalan hidup memang tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tidak dapat dipungkiri, begitu banyak kisah tentang kepahitan hidup yang harus diterima seorang anak. Tak hanya kekerasan verbal, kekerasan fisik pun banyak dijumpai.
Kepahitan yang akhirnya menimbulkan kemarahan dan kebencian. Tak hanya satu atau dua kasus yang pernah saya temui, yang akhirnya menimbulkan penderitaan bagi yang merasakannya.
Saya teringat dengan salah seorang pasien di sebuah rumah sakit jiwa. Usianya masih belasan. Jiwanya sakit karena sikap otoriter orang tua dalam pola pengasuhannya.
Masih banyak kisah lain, yang membuat saya semakin memahami tentang sebuah ruang di masa lalu. Kepahitan demi kepahitan yang pernah dirasakan itu dapat merusak kesehatan mental seseorang. Bila diizinkan.
Siapa yang mengizinkan? Diri kita sendiri.
Kita memang tak dapat memilih dalam keluarga seperti apa kita dilahirkan. Namun, hidup tetap memberikan pilihan. Pilihan untuk tetap membenci atau berdamai dengan keadaan.
Pikiran kitalah yang menjadi sumber pilihan itu. Bila pikiran kita dapat diarahkan, untuk melihat hal positif dari keadaan yang negatif, maka penderitaan akan berganti dengan harapan. Api kebencian pun perlahan akan padam.
Seorang sahabat pernah mengatakan, bahwa penderitaan yang dirasakannya sejak kecil, tak harus dirasakan saat usianya dewasa. Dia berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarga kecil yang mencintainya.
Bila kenangan pahit itu tiba-tiba singgah, dia memeluk dirinya sendiri. Peluk cinta kasih untuk sebuah ruang di masa lalu. Kepahitan yang dijadikannya sebuah tempaan. Kepahitan yang tak harus menjadi penderitaan di sepanjang hidupnya.