Sore itu Hema mendapat panggilan tak terjawab dari ponselnya.
"Miss Pupella, tumben nelpon. Ada apa yah?" Hema menatap layar ponselnya bertanya-tanya.
Selang beberapa menit kemudian, nomor itu kembali menelponnya.
"Miss Hema halo! Uda 2 tahun yah kita ga berkabar!" sapa riang suara dari ponsel Hema.
"Hai, Miss Pupella! Ya ampun. Ada apa Miss?" balas Hema.
"Kita lagi butuh guru agama Buddha nih untuk kelas 1 sampai kelas 9, tapi harus full bahasa Inggris yah. Ada kenalan ga? Atau lu aja deh yang ngajar di sini. HRD kepusingan banget nih guru agama Buddha kita gonta-ganti terus!" berondong Pupella di ujung telepon.
"Beneran nih, Miss? Aku mau banget dong dikasih kesempatan langka," sambut Hema penuh semangat.
"Excellent! Senin langsung mulai yah, Hem! Kasihan murid-muridnya ga ada guru uda sebulan," tukas Pupella seraya mengakhiri percakapan.
Hema bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan Agama Buddha (S.Pd.B.), pun bukan bergelar Sarjana Pendidikan atau Keguruan. Tapi ia memiliki minat yang tinggi di dunia pendidikan dan pengembangan.
Terlebih lagi saat melihat kondisi kurangnya SDM tenaga pendidik agama Buddha di Indonesia, terutama untuk sekolah-sekolah internasional atau SPK yang mengharuskan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.