Suatu pagi di sebuah Sekolah Dasar, seorang ibu guru sedang memberikan pelajaran agama di kelas 4. Si Ibu guru tersebut dikenal sebagai guru yang baik hati, penyabar, dan penuh kasih sayang.
Materi pelajaran saat itu adalah "Menjadi Lilin Dunia dan Garam Dunia." Menceritakan tentang teladan bagaimana seseorang bisa mengarahkan dirinya menjadi baik, berguna bagi dirinya sendiri, dan juga orang lain.
Murid-murid kelihatan begitu antusias menyimak materi dari ibu guru favorit mereka. Pada akhir pelajaran, sang bu guru bertanya, "anak-anak, siapa yang ingin menjadi Lilin Dunia?"
Murid-murid pun dengan antusias, saling beradu cepat mengangkat jari telunjuk mereka, "saya... bu guru."
Sambil tersenyum puas dan mengangguk, si ibu guru bertanya kembali, "sekarang, siapa yang mau menjadi Garam Dunia?"
Murid -- murid kembali menjawab dengan semangat dan saling berteriak, "saya, bu guru... Saya, bu!!!"
Si ibu guru Kembali tersenyum. Ia puas melihat murid-muridnya begitu antusias menyimak materi pelajaran pada hari itu.
Tiba-tiba, pandangannya terpaku pada seorang anak lelaki bernama Boy. Sang anak lelaki duduk di barisan belakang tengah. Dia terlihat menundukkan kepalanya.
Sikap Boy sangat berbeda dengan anak-anak lainnya yang begitu antusias. Si Boy lebih banyak diam dan tidak bereaksi.
Dengan penuh kelembutan, ibu guru menanyakan kepad Boy, "apa pilihan kamu, Boy? Mana yang kamu suka?"
Dengan mimik muka yang memelas, Boy menjawab dengan lirih, "apakah boleh saya memilih, Bu?"
"Boleh nak, tentu," jawab ibu guru.
"Bolehkah saya tidak memilih kedua jawaban yang Ibu berikan?" Tanya Boy dengan takut-takut dan masih kelihatan menunduk.
Sang ibu guru lalu menghampiri tempat duduk si Boy. Dengan suara lembutnya ia berkata, "nak, kamu boleh memilih jawaban lainnya yang kamu ingin utarakan".
"Mari ikut ibu ke depan kelas, agar kamu bisa menyampaikan jawaban kamu kepada semua teman-teman yang lainnya," ujar bu guru sambil membimbing Boy maju ke depan.
"Silahkan, Boy," si ibu guru berujar penuh harap.
Dengan mengangkat wajah perlahan dan menatap dengan polos ke ibu guru, Boy berkata, "saya ingin menjadi bintang di langit, bu guru"
"Mengapa?" Tanya bu guru heran.
"Bila menjadi Garam atau Lilin Dunia," saya belum siap mengorbankan diri untuk kebahagiaan orang lain, bu guru."
"Kata ayah ibuku, lebih baik kita menjadi bintang di langit yang luas. Meski sendiri, namun kita bisa memberikan manfaat kepada banyak orang tanpa harus mengorbankan diri sendiri."
"Bintang di langit dengan cahayanya yang terang, juga berbagi kasih sayang kepada orang lain. Tapi, ia juga memiliki cinta kepada dirinya secara seimbang."
"Bintang bisa menjadi cahaya di malam hari untuk para nelayang yang mencari ikan. Juga petunjuk untuk pulang mencapai tujuan bagi para penjelajah benua," Boy melanjutkan ucapannya.
Meskipun sendirian, tapi tidak selamanya. Kadang ia sendiri di tengah kegelapan, kadang juga ia hadir dengan teman-temannya. Berkelap-kelip bersama bintang lainnya, saling menyapa dan bersenda gurau.
Si ibu guru terdiam, ia tahu sesuatu tentang si Boy. Tanpa sadar, ia pun meneteskan air matanya.
"Kata ayah ibu, nantinya saya juga tidak akan sendiri. Kelak, ayah dan ibu akan menyusul ke sana."
"Mereka juga akan menjadi bintang di langit. Bersama-sama saya membimbing orang lain yang butuh bantuan, tanpa mengharap balasan apa pun." Boy mengakhiri ceritanya.
"Nak, pemikiranmu sungguh luar biasa." Sang ibu guru langsung memeluk Boy, ia tidak sanggup lagi berkata apa-apa.
"Bu guru, aku ingin jadi bintang di langit seperti Boy," sahut murid-murid lainnya. Suasana kembali riuh setelah sempat hening sejenak.
"Baik, anak-anak, cukup pelajaran pada hari ini ya." Kelas bubar, dan murid-murid pun berbaris tertib meninggalkan ruangan kelas.
Si ibu guru tetap berada di mejanya, merapikan barangnya dengan seribu perasaan berkecamuk menjadi satu. Ia tak kuasa menahan tangisnya, mendengarkan jawaban si Boy. Anak berusia 9 tahun yang menderita leukimia.
Memang benar, Boy akan menjadi bintang di langit. Menjadi sosok yang akan selalu dikenang bagi mereka yang mengasihinya. Berbagi kasih sayang kepada semua orang, menjadi cinta bagi dirinya sendiri, tanpa harus berkorban.
Bagi anak seusianya, Boy memang belum siap untuk menghadapi kenyataan, bahwa hidup itu singkat. Namun, bu guru sadar, kehidupan itu memang tidak abadi, demikian pula dengan segala isinya yang kita anggap kekal. Â Â
**
Jakarta, 17 Maret 2022
Penulis: Johny Hanjaya untuk Grup Penulis Mettasik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H