Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Olah Batin untuk Menghadapi Insiden "Keharusan"

5 Februari 2022   04:23 Diperbarui: 5 Februari 2022   04:28 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah sekian lama saya menjalani latihan meditasi, fenomena batin ini terjadi. Kejadiannya berlangsung saat diriku berkesempatan mengikuti retreat meditasi. Entah mengapa, tiba-tiba muncul rasa keraguan yang amat kuat dari dalam batin.

Apakah saya sudah benar melakukan ini? Untuk apa saya lakukan latihan ini? Apakah jalan ini berguna atau hanya sia-sia belaka? Apakah bermanfaat atau buang waktu dan tenaga saja?

Dalam keraguan dan kebimbangan itu, saya menjumpai guru pembimbing. Saya ungkapkan unek-unek, diri yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran.

Beliau tersenyum sembari memberikan nasehat dan pandangannya. Saya bisa merasakan metta (perasaan kasih) yang terpancar dari dirinya.

Selanjutnya, secarik kertas pun diberikan kepada saya. Isinya adalah oretan tulisan tangannya sendiri, yang mencakup enam cara untuk memeriksa kemajuan diri dari hasil meditasi;

1. Sudahkah Anda mulai membantu dan tidak lagi merugikan orang lain?

2. Ketika muncul situasi-situasi yang tidak diinginkan, apakah reaksi Anda tetap seimbang?

3. Jika negativitas muncul di pikiran, seberapa cepat Anda sadar akan hal itu?

4. Seberapa cepat Anda sadar akan perasaan tubuh yang muncul bersama negativitas itu?

5. Seberapa cepat Anda mulai mengamati perasaan tubuh?

6. Seberapa cepat Anda memperoleh kembali keseimbangan mental dan mulai membangkitkan Metta dan Karuna?

Periksalah diri anda dengan cara ini, dan teruslah maju dalam jalan Dhamma.

Demikian pesan guru kepada saya. Setelah menerima surat tersebut, pikiran menjadi agak lebih tenang.

Beliau menekankan bahwa kemajuan dalam bermeditasi, bukan dinilai dari apa yang kita rasakan atau kita alami selama duduk berlatih. Tapi, kemampuan diri untuk mengamati perubahan yang ada dalam keseharian kita.

Apakah ada perubahan positif yang terjadi? Apakah kita mampu menyadarinya, karena perubahan-perubahan batin biasanya hanya mampu dirasakan oleh orang-orang sekitar kita.

Surat kecil tersebut terus saya simpan. Pada saat sedang sendiri, saya baca laksana "mantra". Saat sedang bercanda dengan teman-teman sesama meditator, kadang saya jadikan "surat sakti" untuk dibaca bersama.

Saya belum benar-benar merasakan manfaatnya, hingga sebuah insiden tidak terduga yang saya alami.

Apa yang saya lalui dan rasakan benar-benar membuat saya terheran-heran; "Inikah diriku?" Atau lebih tepatnya, perasaan kagum atas respons yang saya berikan pada saat itu.

Perlu diketahui, saya sendiri termasuk orang yang eksplosif dan terkadang tidak bisa menahan emosi, terlebih jika saya merasa "benar".

Suatu hari saya secara tidak sengaja menyerempet mobil seorang rekan kerja. Namun, karena goresannya tidak terlalu parah menurutku, maka saya sampaikan pada sopirnya, "nanti kami urus."

Namun, disitulah saya baru sadar jika versi "kerusakan" menurut diriku, ternyata memang tidak sama dengan versinya. Sontak, pesan singkat pun datang bertubi-tubi ke gawaiku.

Isinya luar biasa mengerikan tidak pakai apa kabar. Bukan hanya satu, mungkin bisa puluhan bahkan ratusan. Belum termasuk bunyi dering telponnya hingga larut malam.

Membuat jantungku berdetak kencang, dan darah mengalir cepat.

Saya sengaja tidak mau meresponsnya mengingat diriku yang masih belum tenang. Khawatirnya hanya akan menimbulkan pertikaian tidak perlu yang akan berakhir dengan saling melempar cacian dan makian.

Saya merasa seolah hukum karma benar-benar hadir dalam bentuknya yang nyata pada saat itu. Saya merasa diuji, bagaimana seharusnya ajaran Dhamma yang telah saya pahami bisa membuktikannya.

Saya merasa tertantang, bagaimana pelatihan meditasi yang selama ini kujalani, bisa dipraktikkan. Sungguh, malam itu telah menjadi momen yang tidak terlupakan bagi diriku.

Sambil tetap tenang dengan mengingat konsep Anicca (impermanence), saya pun berhasil menenangkan diri. Ajaran Buddhis tentang apapun yang terjadi, baik atau buruk, itu adalah bagian dari hidup kita dan pada akhirnya akan dilewati.

Sambil berbaring dan mengingat konsep karma, saya pun berhasil meredakan emosi. Ajaran Buddhis tentang tidak adanya kebetulan. Segala kondisi pasti bermula dari penyebab. Semua sebab pasti ada akibat. Dan semuanya berasal dari diri sendiri.

Sambil terdiam, saya pun menyadari emosi yang muncul tenggelam. Dengan tenang memerhatikan aliran napas, dan merasakan detak jantung yang cepat. Rasa debar pun berangsur reda seiring dengan emosi negatif yang mulai menguap.

Jadi ingat ajaran guru meditasi saya;

"[...] Jika negativitas muncul di pikiran, seberapa cepat Anda sadar akan hal itu? Seberapa cepat Anda mulai mengamati perasaan tubuh?"

Namun, semua fenomena batin yang saya rasakan belumlah seberapa, hingga muncullah perasaan kasihan. Lebih tepatnya, perasaan welas asih yang tulus, bagaikan cinta seorang ibu kepada anaknya yang tunggal (karuna).

Saya merasakan apa yang terjadi dengannya, larut dalam amarahnya, dan turut mengamati kegelapan batin yang menyelimutinya. Oh, betapa menderitanya batin kawan saya saat itu.

"Semoga engkau berbahagia dan terbebas dari segala penderitaan," demikian doaku yang tulus kepadanya.

Lantas kedamaian pun muncul. Tiada lagi debar jantung atau pun aliran darah yang mengalir deras bak air di kali ciliwung saat banjir. Fenomena ini belum pernah saya alami sebelumnya. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan "in healing, you are healed?"

**

Keesokan harinya, tidak ada lagi perasaan marah, takut, atau setitik pun gundah gulana. Saya menerima teleponnya yang entah sudah ke beberapa babak. Yang pasti lebih panjang dari tayangan sinetron "Ikatan Cinta."

Makian sahabat saya ini terdengar keras, nadanya tinggi, lalu turun lagi ke nada rendah. Mungkin inilah yang dimaksud dengan "bernyanyi". Istilah yang diberikan kepada seseorang yang mengomel tanpa henti.

Saya mendengarkannya dengan seksama. Tidak melibatkan diriku dalam keberpihakan, tidak merasakan, tidak terlibat dalam luapan cacian dari sang sahabat. (anatta).

Semuanya terdengar sebagai informasi, dan bukan makian. Batinku telah berhasil mencapai tahap keseimbangan (upekkha). Melihat apa adanya dan sebagaimana adanya.

"Orang yg menyerang adalah guru yang sedang menyamar", seperti inilah kira-kira yang saya pikirkan.

Setelah dia puas dengan makian dan segala curahan hati tentang masalah-masalah pribadinya, tibalah giliran saya untuk berbicara.

Di seberang sana, ia mungkin sudah siap dengan pertahanan setelah selesai menyerang. Namun, saya berbicara sabar, menasehatinya tentang "karma dan kemelekatan." Mumpung ada kesempatan.

Anehnya, sahabat saya ini tidak membantah sama sekali. Ia tetap diam dan tidak segarang yang aku pikirkan akan terjadi. Sayangnya, saat itu hanya melalui telepon sehingga saya tidak bisa melihat raut wajah dan bahasa tubuhnya.

Tapi, saya tetap mengharapkan yang terbaik. Semoga "celotehan" saya ini dapat ditangkap oleh pikirannya dan masuk ke dalam batinnya. Harapan yang tulus tentunya saya panjatkan.

Namun, memang batin tidak mudah berubah. Perlu waktu dan proses, sebagaimana ia melanjutkan memproses kasusku ke Polres setempat. Baginya itu adalah sebuah "Keharusan".

Saya "harus" dihukum, saya "harus" tobat, saya "harus" menderita, dan "harus-harus" lainnya.

Saya menjalaninya dengan tenang. Tidak ada perlawanan. Tapi, laporan sahabat saya memang tidak memiliki alibi yang kuat untuk membuatku "harus" yang sesuai versinya.

Akhirnya, mediasi pun tercapai. Secara damai. Dan kasus ditutup tanpa "keharusan" yang berarti. Namun, rasa kasihanku masih berlanjut, memikirkan kenyataan bagaimana sebuah batin dapat begitu menderita hanya karena ingin mempertahankan egonya saja.

**

Keesokan pagi harinya, saat saya sedang berolah raga, hari cerah tanpa bekas hujan. Agak aneh rasanya, bisa terlihat ada seberkas pelangi di langit dekat rumah kami.

Sungguh sesuatu momen yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Matur suksme atas keindahan alam yang dapat saya nikmati. Saya tersenyum.

Senyuman bahagia, mengingatkan saya pada sebuah proses bertumbuh yang membuat diriku berubah dari korban menuju tuan. Bukan korban keganasan sahabat saya, tapi korban yang berasal dari negativitas diri yang berpotensi menjerumuskanku ke dalam lembah dukkha yang tak bertepian.

Dengan kejadian ini saya baca kembali surat sakti yang pernah saya terima dari guruku. Saya yakin kalau petuah tersebut benar adanya. Dan saya baru saja melewati momen ajaib dalam sesi kehidupan saya tentang makna Ehipassiko.

Membuktikan bahwa sebuah ajaran itu benar adanya sebelum meyakininya sebagai sebuah kebenaran.

Semoga tidak ada lagi keraguan bagi kita yang sedang berlatih meditasi atau bagi sahabat yang akan berlatih meditasi. Yakinlah, suatu saat nanti kita akan merasakan manfaat nya.

**

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Semoga semua makhluk bahagia...

**

Jakarta, 05 Februari 2022

Penulis : Metta Yani untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun